Sabtu, 02 November 2013

Cerpen : Mukenah Mak

  Haii... baru sempet mindahin cerpenku yg dulu menang lomba cerpen bertema Ramadhan Damai yang diadain Kampung Fiksi sama Smartfren...
Met baca ya... ^^
M U K E N A H    M A K....
oleh: Muhammad Arif Rizaldy
“San, ayo bangun. Sudah subuh.”

Mak mengguncang-guncang tubuh Ikhsan. Bocah yang masih berselimut sarung itu lantas menggeliat. Diusap matanya berkali-kali untuk lebih menyadarkannya dari alam mimpi. Kini wajah Mak yang sudah basah oleh air wudhu itu, nampak lebih jelas.

“Ayo, cepat wudhu! Nanti ketinggalan jama’ah,” ucap Mak seraya memakai mukenahnya yang ada di belakang pintu kamar.

Mukenah milik Mak polos tanpa motif, renda, ataupun bordir. Sederhana sekali. Bahkan warnanya sudah nampak kekuningan karena seringnya Mak pakai. Bayangkan saja, sehari dipakai sholat fardhu 5 kali, belum untuk sholat sunnah dan tadarusnya. Mukenah itu dicuci 3 hari sekali. Dicuci setelah sholat subuh agar saat sholat dhuhur sudah kering dan bisa dipakai lagi. Begitu seterusnya.

“Ikhsaaann....”

Panggilan Mak dari luar kamar sontak membuyarkan lamunan Ikhsan untuk segera beranjak dari tempatnya. Bergegas mengambil wudhu dan mengikuti Mak ke masjid.

***

“Mak, mau punya mukenah baru nggak?” tanya Ikhsan saat melihat Mak mencuci mukenahnya, rutinitas tiga hariannya itu.

Mak menarik ujung bibirnya. Menatap lekat wajah polos Ikhsan yang duduk di depannya.

“Memangnya kenapa, San? Ikhsan mau beliin Mak mukenah?” tanya Mak lembut.

Bocah kelas 6 SD itu mengangguk.

“Aku mau Mak jadi lebih kaya dengan mukenah baru nanti,” sahut Ikhsan semangat.

Mak terkekeh. Beberapa hari lalu Ikhsan memang bertanya pada Mak, mengapa Mak sangat sayang sama mukenah satu-satunya itu. Bila ada lubang sedikit, pasti Mak langsung menambalnya. Begitu juga bila ada noda sedikit, pasti Mak langsung membersihkannya. Rupanya jawaban Mak itu sepertinya masih membekas di ingatan Ikhsan. Ketika itu, Mak menjawab bahwa melalui mukenah itulah Mak merasa kaya. Bukan kaya secara materi pastinya, karena apalah arti kekayaan bagi buruh cuci seperti Mak. Melainkan kaya secara batiniyah. Semakin sering Mak memakai mukenahnya, Mak merasa batinnya lebih damai dan dekat sama Tuhan. Biarlah Mak tak punya apa-apa di dunia ini, tapi Mak tidak mau nanti di akhirat juga tidak punya apa-apa. Mak mau jadi orang yang kaya di mata Tuhan.

“Terserah Ikhsan saja,” jawab Mak singkat.

Ia tak yakin putra semata wayangnya itu mampu membeli mukenah baru. Jangankan membeli mukenah, membeli lauk untuk besok saja terkadang harus berhutang dulu ke warung Bu Siti. Setelah menerima pembayaran cucian, barulah Mak melunasi hutang-hutangnya.

***

Tanpa sepengetahuan Mak, Ikhsan mulai mencari uang untuk mendapatkan mukenah incarannya yang sudah ia lihat di pasar. Mukenah putih dengan bordir bunga di tepinya. Kainnya halus dan mudah menyerap keringat. Mak pasti akan lebih betah memakainya. Untuk harganya Ikhsan sedikit menelan ludah saat melihatnya yaitu Rp. 150.000. Angka yang mungkin kecil bagi sebagian orang. Tapi bagi Ikhsan, dengan harga mukenah sebesar itu baru bisa terbeli bila ia rela tak jajan sama sekali selama 5 bulan.

“Mau ke mana, San?” tanya Mak saat Ikhsan buru-buru pergi setelah pulang sekolah.

“Main, Mak….” Ikhsan berbohong.

Terpaksa ia bohong, karena bila jujur mengatakan kalau akan mencari sampah untuk dijual ke pengepul, Mak pasti marah. Mak belum mengijinkannya bekerja seperti anak-anak lain di kampungnya. Kata Mak, ia masih tanggung jawab Mak, jadi biarlah Mak yang mencari uang.

Ikhsan mencari sampah botol dan plastik di perkampungan yang agak jauh dari rumahnya. Sepulang sekolah hingga menjelang maghrib, Ikhsan menyisir satu persatu bak sampah dan memilah barang-barang apa saja yang sekiranya bisa dijual ke pengepul. Bila sedang beruntung, ia bisa mendapat 2 kresek penuh. Namun bila tidak, 1 kresek terkadang tidak sampai penuh. Sesekali Ikhsan berhenti untuk sekedar beristirahat ataupun sholat Ashar di masjid terdekat. Dalam setiap do’anya, terselip doa semoga Tuhan berkenan mengabulkan keinginannya untuk membelikan mukenah untuk Mak.

Sudah hampir seminggu Ikhsan menjadi pemulung cilik dadakan. Setiap hari sekitar 2-3 ribu rupiah bisa ia kantongi dari memulung. Tabungannya kini masih 20.000 rupiah, masih kurang banyak untuk membeli mukenah Mak. Ia harus kembali memutar otak untuk mencari pekerjaan tambahan agar uangnya lebih cepat terkumpul.

***

Peluh Ikhsan nampak membasahi pakaiannya. Bocah ceking itu berkali-kali mengusap dahinya dengan punggung tangannya. Sekarung beras seberat 25 kg baru saja ada di pundaknya. Ya, Ikhsan kini menjadi kuli panggul di pasar ketika hari Minggu. Ia berbaur bersama orang-orang bertubuh kekar yang mampu mengangkat 3 karung beras itu sekaligus. Upah di sini lumayan. Setiap karung yang berhasil diangkut dihargai 1.000 rupiah. Jarak antara truk pengangkut beras dan tokonya pun tak seberapa jauh. Ada sekitar 150 karung beras yang harus dipanggul. Truk pengangkut beras ini tak setiap hari ada, biasanya seminggu atau dua minggu sekali. Maka dari itu, Ikhsan tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tak dipedulikannya lagi, keringnya kerongkongan dan ramainya perut minta diisi. Ia hanya fokus untuk memanggul beras itu sebanyak-banyaknya.

***

“Seratus empat puluh, seratus lima puluh, seratus enam puluh, seratus tujuh puluh lima ribu enam ratus rupiah! Yeeayy!!” pekik Ikhsan girang ketika menghitung uang yang dikumpulkannya selama hampir 2 bulan itu.

Bayangan mukenah baru untuk Mak begitu jelas menari-nari di angannya. Tak sabar rasanya melihat Mak memakai mukenah itu besok. Tepat 1 Ramadhan. Bulan istimewa harus disambut pula dengan pakaian yang terbaik.

Malam hari itu juga, Ikhsan bergegas menuju pasar dan menjemput mukenah incarannya. Tak lupa, seluruh uang tabungannya ia selipkan rapi di dompet milik ayahnya sebelum beliau meninggal.

Mukenah dengan bordir bunga itu masih nampak menghiasi manekin di depan toko. Wajah manekin itu seolah berubah menjadi wajah Mak saat Ikhsan menatapnya. Diusapnya lembut mukenah baru itu. Mata Ikhsan mengembun tatkala membayangkan senyum Mak di sana
.
“Bang... mukenahnya ini berapa?” Ikhsan menunjuk mukenah incarannya.

“170 ribu,” jawabnya singkat.

“Kok naik, Bang? Bukannya kemarin 150 ribu?”

“Kemarin kapan? Semuanya pada naik kalau mau puasa.”

Ikhsan mengangguk. Tak masalah baginya, selama uangnya masih cukup. Ia juga mengerti karena memang semua harga barang-barang kebutuhan akan naik ketika menjelang hari besar. Setelah melakukan transaksi jual beli, kini kresek berwarna gold dengan isi mukenah cantik itu siap ia bawa pulang.

Begitu riang ia melangkah. Wajahnya berseri. Diayunkannya kresek itu hingga seperti pantulan pada jarum jam. Saking larutnya ia dalam kebahagiaan, ia tak menyadari sedari tadi ada motor yang mengendap di belakangnya. Sedetik kemudian, tangannya tersentak oleh tarikan kasar seseorang yang ada di belakangnya.

“Brrrrmmmmm.......!!” motor itu kemudian melaju kencang.

Ikhsan terhuyung. Jantungnya berdegup kencang dan matanya memanas ketika menyadari motor itu pergi membawa kresek yang ditentengnya tadi. Kresek gold berisi mukenah cantik tersebut lenyap. Seketika itu ia lunglai dengan wajah pias dan tatapan kosong.

“Ya Robb....,” desisnya.

Ikhsan melangkah gontai. Air mata tak lagi terbendung ketika bayangan Mak dan mukenah baru itu kembali muncul bergantian di kepalanya.

“Mengapa harus aku? Mengapa harus mukenah Mak yang diambil? Bukankah itu juga agar Mak bisa lebih dekat dengan-Mu? Tapi mengapa Kau biarkan pencuri itu mengambilnya?” Berbagai pertanyaan kepada Tuhan hilir mudik berkecamuk di hatinya.

Tangis Ikhsan meledak ketika melihat Mak yang sedang menyapu teras. Bocah itu lantas sesenggukan di pundak Mak. Sedangkan Mak yang tak tahu apa-apa, kebingungan dan cemas melihat keadaan Ikhsan.

“Kenapa, San?”

“Mu-mukena Mak d-dicuri,” jawab Ikhsan terbata. Bibirnya bergetar.

“Mukenah Mak ada kok di dalam.”

Ikhsan menggeleng. 

“Mukenah b-baru buat Mak...,” 

Kemudian Ikhsan menceritakan semua detail kejadiannya. Dari proses ia mengumpulkan uang hingga pencuri itu merenggut semua jerih payahnya.

Mak kini mengerti. Wanita yang sudah mulai beruban itu lantas tersenyum pada Ikhsan. 

“Ikhsan tahu nggak, terkadang sesuatu yang kita anggap baik belum tentu baik di mata Tuhan. Ikhsan pasti berharap kalau nanti Mak pakai mukenah baru, Mak akan lebih taat ibadahnya, ya kan?” 

Ikhsan mengangguk lemah. Ya, itu memang tujuannya memberikan mukenah baru untuk Mak.

“San, Tuhan pasti punya alasan mengapa saat ini Mak belum diijinkan punya mukenah baru. Siapa tahu bila Mak punya mukenah baru, Mak malah jadi sombong, pamer ke tetangga-tetangga. Jadi riya’ kalau ibadah karena ingin dipuji mukenahnya. Oleh karena itu, Ikhsan harus ikhlas ya mukenah itu diambil. Jangan pernah menyalahkan Tuhan atas keputusan yang telah Dia buat untuk kita,” tutur Emak lembut.

“Tapi... Mak jadi pakai mukenah lama itu lagi buat tarawih nanti,” ujar Ikhsan lirih.

“Tak masalah bagi Mak. Asalkan Mak punya anak yang sholeh seperti Ikhsan,” ucap Mak sembari mengecup kening buah hatinya itu.

Terawih pertama di bulan Ramadhan ini memang Mak lalui tanpa mukenah baru seperti harapan Ikhsan. Tapi dari kejadian itulah, kedua insan itu belajar bahwa nikmat dan damainya Ramadhan tak bisa diraih hanya dengan memakai mukenah baru. Menjaga hati untuk selalu bersyukur, ikhlas dan berprasangka baik kepada Tuhan jauh lebih penting untuk menyambut Ramadhan hingga hari kemenangan nanti.


***
Pengarang cerpen terpilih #CeritaRamadan Minggu ke-3 ini berhak mendapatkan satu buah USB modem Wifi DF78AH dari Smartfren. Selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar