Minggu, 14 Desember 2014

[Review] Sedapnya Ngeri-Ngeri Sedap






Judul                    : Ngeri-Ngeri Sedap
Penulis                 : Bene Rajagukguk
Editor                  : Syafial Rustama
Penerbit               : Bukune
Tahun Terbit         : Oktober, 2014
Tebal                    : vi+206 halaman



Dilihat dari covernya yang rame dan adanya wajah penulis, sangat mudah dikenali jika buku ini pastilah bergenre personal literature, yang mungkin akan membawa para pembacanya ngakak kayang, seperti buku bergenre sejenis. Apalagi penulisnya, Bene Rajagukguk, adalah jebolan SUCI 3 yang pasti tingkat kelucuannya tak diragukan lagi.
Apa yang sebenarnya ingin diceritakan penulis di sini? Mudah, silakan saja baca blurbnya, karena pembaca akan langsung tahu jika penulis ingin menceritakan pahit manis hidupnya sebagai pemuda Batak yang mencoba menaklukkan dunia.
Terlihat sederhana ya ceritanya? Eits… tunggu dulu, karena di buku ini banyak pelajaran hidup yang diceritakan penulis lewat Mamak, Bapak dan orang-orang di sekitarnya. Gaya bahasanya ringan dan mengalir. Sarat pesan namun tak terkesan menggurui, karena diselingi humor yang membuat aku bisa ngakak brutal namun tetap tak menghilangkan makna yang ingin disampaikan oleh penulis.
Dengan tebal 206 halaman, aku hanya perlu sekali duduk untuk melahapnya, karena memang untuk menghabiskan buku ini tak perlu mengerutkan dahi , seperti mengerjakan soal integral. Buku ini diawali dengan Selayang Pandang yang menceritakan secara singkat tentang penulis yang amuba –asli muka batak—ini. Lalu, disusul dengan bab Mamak Lawak-Lawak –judul bab yang konon katanya adalah judul awal yang diajukan penulis untuk buku pertamanya ini--. Dalam bab ini, penulis menceritakan Mamaknya yang unik dan pelitnya minta ampun.
“Mak, bentar dulu,” aku memotong cerita Mamak. “Mamak salah nelepon ini. Ini nomor aiemtri Mamak telepon. Habislah nanti pulsa Mam—“
Tuuuttt… Tuuuttt… Tuuuttt… Telepon diputus.
Beberapa menit kemudian Gita SMS.
“Mampus kau, Bang. Mamak marah. Kenapa kau nggak langsung bilang kalo Mamak salah nelepon. Habis pulsanya sepuluh ribu. Katanya mau dipotong Mamak uangmu untuk bulan depan …”
Membaca cerita tersebut, aku langsung guling-guling. Omaigaaatt!! Padahal cuma sepuluh ribu dan dipakai untuk nelepon anaknya sendiri, tapi kok sampai segitu reaksi Mamaknya, haha.. *ngakak lagi sambil ngemut lollipop*. Tapi nanti di akhir cerita, kita akan tahu alasan kenapa Mamak Bang Bene ini pelitnya kagak ketulungan.

Ada lagi bab yang ceritanya unforgettable banget, judulnya Air Susu Dibalas dengan Air Susu. Dalam bab ini, Bang Bene menceritakan tentang pengalamannya saat wisuda. Dari mengatur jadwal kedatangan Mamak dan Bapak karena saat itu ada bencana Gunung Kelud, hingga pengumuman jika Bang Bene adalah … Ah baca sendiri deh! Pokoknya pada bab ini, semangatku yang tahun depan akan jadi mahasiswa baru langsung melecut.

Ada juga bab yang membahas seputar Batak dan tetekbengeknya, judulnya Mengenal Batak. Melalui bab ini, aku jadi tahu istilah-istilah serta adat istiadat dalam suku Batak. “Padat gizi” banget bukunya. Ditambah dengan ilustrasi gambar yang kece di dalamnya, buku ini semakin renyah dan nyaman untuk dinikmati.

Namun, di balik sedapnya buku ini, tetap masih ada kekurangannya. Di antaranya, beberapa kesalahan penulisan dan ada pengulangan di halaman 137 dengan 138. But overall, buku ini tetap recommended bagi siapapun yang sedang merasakan Ngeri-Ngeri Sedap di hidupnya. Selamat menikmati sedapnya Ngeri-Ngeri Sedap!

Memang, menerima jalan Tuhan butuh waktu. Tapi, perlahan, orang akan sadar dan menemukan jawaban. Walaupun penuh twist dan kejutan, scenario Tuhan memang menakjubkan. (hal. 205)

Minggu, 17 Agustus 2014

Time is Money



Otaknya mendidih. Tulang-tulang penyusun tubuhnya seakan tak punya daya untuk kembali menopang tubuhnya. Tapi ia tak peduli. Bercangkir-cangkir kafein direguknya demi menuntaskan bertumpuk file yang masih menggunung di atas meja kerjanya.

Hampir seharian ia habiskan di kubikel ini. Berkutat dengan laporan yang membuat matanya memerah perih. Namun lagi-lagi ia tetap tak peduli, bahkan ketika dering telepon dari sang istri untuk kesekian kalinya menjerit minta diangkat. Kerja, kerja dan kerja. Tiga kata itu kini mendominasi pikirannya. Beban hidup yang semakin keras membuatnya harus ekstra membanting tulang untuk bidadari dan dua malaikat kecilnya. Time is money, itulah jargon yang melekat di otaknya. Waktu yang terbuang tanpa menghasilkan uang adalah haram baginya.

“Lembur lagi, Al?” teman sekantornya menepuk bahunya pelan.

Ia mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya pada layar laptop.

“Aku pulang dulu, ada meeting,” pamitnya.

 Aldy mengernyit. “Meeting sama boss?”

Sang rekan menggeleng. “Meeting sama yang lebih penting dari boss,” ujarnya terkekeh. “Sama anak dan istri. Kalau nggak ada mereka, aku cuma manusia tanpa semangat. Kita memang kerja demi mereka, tapi ah... apalah artinya uang melimpah jika kelak anak tak mengenali ayahnya sendiri saking sibuknya kita di kantor. Benar, kan?” lanjutnya.

Aldy membisu. Membiarkan kalimat itu menampar-nampar batinnya.


***

Minggu, 15 Juni 2014

Review Novel : (Bukan) Salah Waktu




Identitas Buku
Judul: (Bukan) Salah Waktu
Penulis: Nastiti Denny
Cetakan: Pertama, Desember 2013
Penerbit: Penerbit Bentang
Tebal: 248 halaman
Harga: Rp. 46.000,-
*** 

Memiliki trauma masa lalu akibat pertengkaran dan penolakan oleh orang tuanya membuat Sekar -wanita yang selalu aktif dan memiliki karir yang cemerlang- itu akhirnya memutuskan berhenti bekerja dan fokus untuk mengurus rumah tangga dan suaminya, Prabu. Tak disangkanya kehidupan “baru” ini malah membuat Prabu mengetahui rahasia yang selama ini Sekar tutup rapat. Alih-alih meminta penjelasan Sekar tentang rahasianya itu, Prabu malah menyimpan rahasia yang lebih kelam. Adalah Bram, sosok yang membawa kejutan kepada Sekar dengan cerita tentang Larasati, wanita masa lalu Prabu.

Maka, ketika semua rahasia Prabu telah terungkap, Sekar hanya bisa memilih untuk memaafkan sang suami beserta masa lalu kelam yang mengiringinya atau membiarkan biduk rumah tangganya bersama Prabu yang telah terbina dua tahun itu berantakan.
***

Dengan cover bergambar jam yang dipadu warna putih dominan, sangat mewakili isi cerita si tokoh utama (Sekar Melati) yang mau tak mau harus menghadapi sebuah kisah kelam di masa lalunya dan masa lalu suaminya. Meski terlihat sederhana, cover buku ini tetap eye catching apalagi ditambah label “Pemenang Lomba Novel Wanita dalam Cerita” yang membuat buku ini punya selling point lebih. Sayang, blurb yang berisi perasaan tokoh utama terasa kurang memikat.

Pembukaan cerita tentang mimpi masa lalu Sekar sungguh awal yang baik karena penulis mampu menghadirkan kejadian yang membuat pembaca langsung penasaran, apalagi gaya menulisnya lincah dan mengalir. Namun, narasi tanpa dialog yang dipaparkan penulis dari halaman pertama hingga keenam sedikit membuat saya jemu.

Menggunakan alur maju yang diselingi flashback di beberapa bagian membuat novel ini tak monoton, apalagi penulis menyelipkan sedikit twist di pertengahan ceritanya. Meskipun ending cerita mudah ditebak, namun banyak quote dan pelajaran menarik yang bisa dikutip di setiap babnya.

Karakter tiap tokohnya cukup kuat. Sekar yang mandiri, Prabu yang bukan tipe lelaki romantis dan cenderung plin-plan, Bram yang flamboyan serta Larasati yang masih labil emosinya. Sayang, meski menjadi salah satu tokoh penting namun bagian cerita untuk Larasati terlalu sedikit dan kurang digali, malah terkesan dipaksakan menghilang menjelang akhir cerita. Padahal saya berharap tokoh ini mampu membuat cerita lebih “nendang” sekaligus membuat chemistry Sekar dan Prabu sebagai suami istri yang terasa hambar di awal cerita bisa lebih kuat.

Deskripsi setting tempat, waktu dan suasana telah dipaparkan secara jelas oleh penulis sehingga saya bisa membayangkan dengan mudah bagaimana bentuk tempat ataupun kejadian yang dialami para tokohnya. Akan tetapi penulis tidak konsisten dalam memberikan beberapa keterangan, seperti nama kakak Prabu (Leni atau Putri?) dan nama yayasan Bu Yani (Jalin Kasih atau Tali Kasih?)

Meski bertema tentang permasalahan rumah tangga, namun novel ini juga cocok dibaca remaja. Selain karena tak ada adegan yang berlebihan, dalam novel ini juga tersirat amanat bahwa kita harus berhati-hati ketika menikmati masa muda karena jangan sampai kita membawa kisah masa lalu yang kelam ketika dewasa atau berumah tangga nanti.

Akhirnya saya sematkan 3 bintang untuk novel ini. So, good job buat Mbak Nastiti. Ditunggu karya berikutnya.. :D







 

Rabu, 23 April 2014

[Cerpen untuk #KampusFiksi] Sesal


Gerimis di luar kaca begitu menghisapku ke dalam kenangan-kenangan itu. Kusandarkan tubuh pada kursi bus Jaya Utama yang akan membawaku padanya. Padanya yang telah mengguratkan senja di hidupku.

Enam tahun yang lalu. Bahkan aku masih mengingat bagaimana tawanya saat langit mulai berubah jingga. Memekik girang saat mentari mulai kembali ke peraduannya. Dulu aku tak tahu apa yang membuatnya begitu mencintai senja yang bagiku hanya sebagai angin lalu sebelum bumi digantikan malam.

Ranti namanya, gadis penyuka senja itu. Aku mengenalnya saat baru mengenakan seragam putih abu-abu. Gadis sederhana, ceria dan memiliki manik mata yang selalu berbinar.
***
“Pakai punyaku saja.

Ranti menyodorkan payungnya padaku. Aku hanya meliriknya sekilas. Hujan kali ini memang begitu menyebalkan. Membuatku tak dapat bergerak ke manapun. Mungkin ia bisa melihat kekesalan di wajahku hingga ia rela meminjamkan payung biru miliknya.

“Dan kamu?” tanyaku setelah menyelidik dan yakin bahwa ia hanya membawa satu payung.

Ranti tersenyum tipis, namun tak dapat menutupi lesung pipi yang menghiasi wajahnya.

“Rumahku dekat. Aku hanya perlu sedikit berlari ke sana,” jawabnya sembari menepuk-nepuk rok seragamnya yang mulai basah terkena hempasan hujan yang menerobos di tempat kami berteduh.

“Namamu Ranti, kan?” tanyaku setelah menatap detail wajahnya.

“Kita satu kelas, kan? Dan kamu baru tahu namaku?” Gadis itu terkekeh. Menatapku dengan senyumnya yang melebar.

“Maaf, aku memang terkadang lupa dengan nama-nama teman di kelas kita,” jawabku singkat dan kembali terpekur menatap hujan.

Aku memang orang yang sangat susah menghafalkan nama, lagipula ini baru sebulan kami masuk di kelas ini. Biasanya, aku hanya mengingat wajahnya tanpa mengingat namanya. Hanya orang-orang tertentu saja yang akan melekat kuat di ingatanku.

“Kuharap namaku tak pernah kamu lupa,” timpalnya renyah. Suaranya berlomba dengan suara hujan yang semakin deras.
***
“Ya, namamu memang tak pernah beranjak dari ingatanku, Ranti,” desahku. Kalimat itu yang seharusnya kuucapkan padanya empat tahun yang lalu sebelum aku membuat keputusan bodoh itu.

Kurapatkan jaket. Mencoba menghalau dingin yang berusaha menyelinap di setiap lekuk tubuhku. Bus Jaya Utama masih melaju kencang melewati berbagai pemandangan yang tak pernah luput dari mataku. Membawaku lebih dekat dengannya. Ranti, aku pulang. Pulang ke kotamu. Ah, tidak. Kota kita lebih tepatnya.
***
 “Hei... kok belum pulang?” tegur Ranti saat menemukanku masih berdiri di depan gerbang sekolah.

“Menunggu jemputan. Motorku tiba-tiba mogok. Kamu sendiri mau ke mana?” tanyaku penasaran setelah melihatnya dengan sepeda keranjangnya.

“Alun-alun. Mau melihat senja di sana. Kamu mau ikut?”

Lama aku terdiam. Mencerna jawaban yang meluncur dari mulut Ranti. Melihat senja? Apa yang akan ia dapatkan dari melihat senja? Berjuta pertanyaan begitu menggelayut di pikiranku. Belum sempat pertanyaan itu terjawab, Ranti telah lebih dulu mendorongku untuk menaiki sepedanya.

“Kamu yang memboncengku,” ucapnya diselingi tawanya yang khas.

Alun-alun kota dengan air mancur di tengahnya tak begitu ramai hari ini. Aku meletakkan sepeda Ranti tepat di sisi bangku taman. Setelah turun dari sepeda, Ranti duduk di bangku taman itu dan hanya terpekur menatap lembayung. Tak ada percakapan di antara kami untuk beberapa menit.

“Kamu suka ke sini?” tanyaku memecah kebisuan di antara kami.

“Hampir setiap hari”.

“Buat apa?”

“Aku ke sini untuk melihat senja,” jawabnya sambil memandang jauh menembus langit yang sedang menyemburatkan kemerahan.

“Mengapa?”

Ranti terdiam sejenak. Sorot matanya mendadak sayu. “Waktu itu tepat sehari sebelum perayaan tahun baru. Ah, bahkan aku masih mengingat bagaimana raut kekecewaannya.” Mata beningnya terlihat berair. “Ayah sudah menungguku di sini sedari senja untuk mengajakku ke Pantai Delegan untuk merayakan tahun baru di sana. Tapi kamu tahu? Aku menolaknya karena aku ingin merayakan tahun baru itu bersama teman-temanku.”

“Jika aku tahu kalau itu adalah permintaan terakhirnya, mungkin aku takkan pergi sejengkalpun darinya. Memenuhi semua keinginannya. Ayah pergi meninggalkan senja terakhirnya di sini,” bibir Ranti bergetar. Kelu. Ucapannya tercekat.

Aku menatapnya dalam. Jawabannya begitu menyentak perasaanku. Jadi karena itukah dia begitu mencintai senja? Senja yang hanya sesaat datang di antara sore dan malam. Senja yang mungkin terlupakan oleh banyak orang karena terlalu sibuknya mereka dengan urusan duniawi.

Sejak saat itu, aku selalu menemani Ranti menatap senja di sini. Berbagi cerita bersama, bersepeda atau sekedar melepas penat. Ya, aku mulai mencintai senja seperti aku mulai mencintainya.
***
Tak terasa kakiku telah menginjak lantai dingin terminal Osowilangun. Kuedarkan pandanganku ke seluruh sudut terminal. Terminal di perbatasan Gresik-Surabaya ini masih sama seperti saat kutinggalkan dulu. Masih penuh dengan wajah orang-orang yang memendam kerinduan pada jiwa-jiwa yang jauh di sana. Tak terkecuali aku.

Aku melangkah keluar dari terminal. Kubenarkan lagi ransel yang menggantung di pundakku. Tak terlalu berat isinya. Hanya beberapa bungkus hadiah yang ingin kuberikan padanya.

Kutengadahkan kepala. Hujan yang mengguyur selama perjalanan tadi ternyata mampu mengaburkan semburat jingga yang biasanya menggantung di langit kota ini. Aku menghembuskan napas perlahan. Aroma rindu semakin menguar dan menyelimuti hati ini.
***
“Aku ingin kita bersahabat saja,” ucapku tepat di saat hari keberangkatan menuju Malang guna melanjutkan pendidikan. Tak seperti dugaanku, Ranti tak kaget mendengar pernyataanku. Mungkin ia sudah melihat gelagatku sejak sebulan lalu yang seolah menghindarinya.

“Winda?”

Aku kembali terperanjat. Selama ini, aku tak menyadari ternyata Ranti tahu hubunganku dengan Winda. Ada senyum getir tersungging di bibir Ranti. Ia menggenggam erat tanganku. Kutahu hatinya hancur.

“Aku hanya ingin kamu bahagia, Ris. Bila kamu bahagia bersama Winda, aku rela melepasmu.” Tak ada air mata yang tumpah membasahi pipinya. Air mata itu seolah telah mengering. Mungkin sudah banyak air mata yang ia tumpahkan ketika mendengar semua kebohonganku dan mengendus hubunganku dengan Winda, gadis yang baru kukenal tiga bulan silam saat acara festival band berlangsung.

Ranti meninggalkanku dalam kebisuan. Pergi bersama dengan senja yang bergelayut di matanya. Ah, mengapa hatiku teramat sakit saat menatapnya? Bukankah ini yang kuinginkan untuk memutuskan kehidupan baru bersama Winda?
***
Kertas itu masih kugenggam erat. Kertas yang Ranti berikan sesaat setelah kami memutuskan untuk tak lagi berjalan beriringan. Keputusan bodoh yang kusesali hingga kini.

Bagiku, kebahagiaan itu sederhana
Sesederhana saat kamu dan aku menantikan langit berganti senja
Di mana dunia kita begitu lepas
Terima kasih telah menemaniku menatap senja selama ini
Saat menatap senja bersamamu, aku selalu berharap kalau ini bukanlah senja terakhir yang bisa kita nikmati bersama
Namun, apalah aku? Aku hanyalah manusia tanpa daya.
Aku pun tak bisa mencegah kala hatimu tak lagi untukku
Semoga kamu mendapatkan senja yang lebih indah di sana. Bersamanya.

Kugenggam lebih erat kertas yang sudah teramat kusut itu. Mataku mengembun tatkala menyadari betapa bodohnya diri ini dulu yang tak mampu melihat cinta yang begitu dalam di mata Ranti untukku.

Aku meneruskan langkah. Merekam jejak cerita yang kuharap akan berakhir indah di kota ini. Tak terasa inilah akhir perjalananku tatkala kakiku tepat berdiri di sini.

“Ranti, aku sudah datang,” ucapku lirih, persis di depan janur kuning yang menghiasi tenda pernikahannya.
***

Senin, 24 Maret 2014

[FF Fiksi Laguku] Negatif



“Negatif,” wanitaku terlihat muram.

“Jangan bersedih. Tetap berdoa,” hiburku membesarkan hatinya. Mencoba menenggelamkan raut kecewa setiap kali wanitaku mengatakan satu kata itu padaku.

Lagi-lagi hanya satu garis yang terpampang. Kami harus kembali menelan kekecewaan. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk berharap. Berdoa agar tawa kecil itu bisa menghiasi kehidupan kami berdua, tapi nihil.

Wajahnya ditekuk. Dari balik rambut hitamnya yang terjuntai, aku masih bisa melihat air mata yang tertahan di sudut matanya. “Maaf, aku belum bisa memberikan kebahagiaan yang sempurna untuk rumah tangga kita,” ujarnya lirih, nyaris tak terdengar.

“Hei…,” aku menarik wajahnya. Mata kami beradu dalam diam untuk beberapa detik.

“Aku mencintaimu. Itulah alasanku memilihmu. Aku tak peduli jika seumur hidupmu dalam kemandulan karena aku mencintaimu lebih dari apapun,” tegasku meyakinkannya.

***

FF ini berdasarkan lagu berjudul "Mandul" yang dinyanyikan oleh Rhoma Irama feat. Elvi Sukaesih.