Sabtu, 27 Juli 2013

[Resensi Buku] Rogoh Ah... : Kelakuan Aku, Kamu, dan Dia

      




Judul                : Rogoh Ah... : Kelakuan Aku, Kamu, dan Dia
Pengarang       : @edi_akhiles
Penerbit           : Laksana (Diva Press)
Editor              : A. S. Sudjatna
Terbit               : Januari 2013 (Cetakan Pertama)
Halaman          : 228

            

Busyeettt, di bagian pangkal pahaku semakin ner-neran aja, getar-getar terus, makin lama makin menghebat.
Sial, sial banget...

Jangan, jangan, nggak baik, bukan pada tempatnya, nggak pantes, nggak etis, nggak sopan, ntar cuma bikin kamu nyesel sendiri loh...
Apa yang kalian pikirkan bila membaca kalimat di atas? Pasti kebanyakan negatif deh. Namun, itulah cuplikan blurb yang ada di back cover buku karangan @edi_akhiles ini yang justru mampu memikat rasa ingin tahu pembacanya.
 “Jangan-jangan buku ini buku yang “nggak-nggak” ya? Nanti disita guru loh..” 

Pertanyaan di atas diajukan oleh teman saya ketika pertama kali membaca blurbnya. Saya hanya meringis saja waktu itu. Tidak salah juga kata teman saya, karena buku ini memang buku yang “nggak-nggak”, nggak biasa dan nggak mainstream. Namun jangan salah, bukan “nggak biasa” dalam konteks yang negatif. Bila kalian membeli buku ini karena blurbnya yang bisa membawamu berfantasi liar dan berharap isinya juga tak kalah liar, maka saya ucapkan Selamat Menelan Kekecewaan. Karena yang kalian akan temukan lewat buku ini adalah hal-hal yang sejenak membuatmu tercengang lantas kemudian merasa tercabik, terpukul, tertampar bahkan terkoyak oleh pesan yang ada di dalamnya.
Buku dengan cover celana Jeans yang akan dirogoh ini dibuat karena mewakili salah satu dari 33 cerita di buku ini. Beberapa cerita dituturkan dengan bahasa khas remaja yang terkadang alay, seperti pada cerita BBM Ayah dan Bunda serta Ujung Adu Tahan-Tahanan. Meskipun usia pengarang tak lagi remaja, namun beliau mampu masuk ke zona itu dan menyoroti perilaku remaja saat ini yang tak lagi malu mengumbar kata-kata mesra di jejaring sosial dan gaul yang kelewat batas dengan nongkrong di diskotik. Untungnya saya bukan termasuk remaja yang disindir pengarang, jadi saya tidak terlalu tercabik-cabik dibuatnya.
Tak hanya menyorot tentang masalah remaja, buku ini juga menyorot tentang gaya hidup saat ini. Baca saja pada cerita Sosialita atau S(os)i(a)lit(a) dan Srintil Similikitil. Dalam cerita pertama, disinggung saat ini masyarakat dibuat salah kaprah dengan istilah Sosialita yang banyak menempel di kalangan wanita highclass dengan segala tetek bengek kemewahannya. Padahal makna sosialita sendiri hanyalah layak disandang oleh mereka yang memiliki kepedulian yang tinggi (halaman 138). 
              
Begitu juga untuk cerita yang kedua, di sini beliau membahas fenomena mahasiswa perantauan yang malah ongkang-ongkang di kafe sampai subuh dengan dandanan minim pakaian dan mabuk-mabukan. Padahal orang tua mereka sudah mati-matian mengeluarkan banyak biaya agar mereka dapat mencari ilmu dan meraih kesuksesan di sana. Di cerita ini, saya sedikit berkaca-kaca. Memang benar, terkadang kita sebagai anak tak mau tahu apa saja yang sudah orang tua kita korbankan untuk kesuksesan kita. Kita hanya bisa menuntut bahkan mengomel bila orang tua tak bisa memenuhi apa yang kita minta. Semoga saat menjadi mahasiswa nanti, saya tak menjadi Srontol Somolokotol (karena saya cowok) seperti mereka yang tak tahu bagaimana menghargai peluh orang tua. Mari diaminkan. Aminnn...
Sebenarnya masih banyak cerita-cerita lain yang membekas di ingatan saya, seperti cerita Siape Ayah Upin-Ipin? dan How Srukat You Are?; Kisah Beckham, Syahrini, dan Syahneni. Namun sebagai resensor yang baik, saya tidak mau spoiler dong. Buku ini mampu saya lumat tak lebih dari 3 jam. Cerita-ceritanya yang sarat makna namun tak menggurui ini, membuat saya kadang tersenyum, mendelik, mengerutkan dahi dan berkaca-kaca. Jarang loh bisa membuat cowok seperti saya berkaca-kaca saat membaca buku.
Overall, buku ini bagus dari segi tampilan maupun isinya. Namun sayaaangg.... daftar isinya kok tidak sesuai dengan halaman yang dituliskan? Contohnya untuk cerita Dhuha di Masjid Agung Bantul di daftar isi tertulis halaman 178 tapi kenyataannya cerita itu ada di halaman 185, begitu juga dengan cerita-cerita selanjutnya. Ini sepertinya remeh, tapi jujur ini cukup mengganggu karena terkadang saya membacanya berlompatan dimulai dari judul yang saya anggap paling menarik dulu. Oh ya satu lagi, di bagian tentang penulis tidak diberi foto. Memang tidak wajib sih, tapi untuk saya yang orangnya agak kepo, itu wajib biar pembaca tidak penasaran dengan wajah si pengarang buku yang telah dibacanya.
Akhirnya 3.5 / 5 untuk Rogoh Ah... : Kelakuan Aku, Kamu, dan Dia.

Kamis, 18 Juli 2013

Sebelum Senja

“Silakan kopinya."
"Makasih mbak."
Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesananku. Hangat.

Bagiku, kopi ialah pemanis di kala senja. Aku tidak paham dengan anggapan orang-orang yang membenci kopi hanya karena ia pahit. Pahitnya kopi mampu menyadarkanku bahwa hidup tidak selamanya manis. Kopi sanggup membuatku nyaman meski kepala sedang suntuk-suntuknya. Dan kopi ialah teman yang baik bagi mereka yang sedang sendiri. Seperti orang yang sedang menunggu. Seperti aku.

Kulirik jam tanganku.
Satu jam. Sudah satu jam aku berada di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantai parquet. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Lagu-lagu akustik John Mayer yang terus diputar membuatku percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menikmati suasana. Kecuali aku.

"Semoga aku nggak salah tempat," batinku.
Kuingat-ingat lagi surat itu. Ya, surat aneh yang kudapat sehari yang lalu. Tidak ada nama pengirim, hanya berisi tulisan pendek mengenai permintaan untuk bertemu disertai alamat, tanggal, dan waktunya. Di baliknya terdapat sebuah foto seorang anak lelaki menggenggam tangan seorang anak perempuan. Semakin kuperhatikan, semakin aku yakin jika anak lelaki di foto itu aku. Berbagai macam pertanyaan seperti siapa pengirimnya, ada keperluan apa ia ingin menemuiku, dan kenapa ia bisa memiliki fotoku waktu kecil mengubur segala rasa takutku.

Dan di sinilah aku. Menunggu.
Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
***
Suara bel menandakan pintu cafe itu terbuka. Seorang perempuan dengan kemeja flanel berjalan masuk. Ia terlihat seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang.

“Hei....”
Perempuan itu menyapaku. Sejenak, aku terpaku. Mataku menelusuri setiap jengkal tubuhnya. Mencoba mengingat akan sosok yang kini berdiri di hadapanku ini. Namun nihil. Perempuan anggun dengan rambut sebahu itu tak mampu mengingatkanku pada siapapun.

“Masih ingat aku, Di?” tanyanya dengan senyum yang terkembang. Menunjukkan dua lesung pipi yang menghiasi wajahnya.

Ah, iya! Aku mengingatnya. Lesung di pipinya itu sama persis dengan milik perempuan kecil yang menggandeng tanganku di foto. Tapi siapa ia? Bila aku lupa, itu sudah wajar. Karena foto itu mungkin diambil saat aku belum genap berumur 8 tahun.

“Aku Laras,” ucapnya lagi. Mungkin ia mulai jengah denganku yang masih bergeming.
Kupersilahkan ia duduk. Laras kini berhadapan denganku. Ia memesan secangkir Espresso Con Panna dengan sedikit krim. Ah, seleranya unik. Tak terasa, aku melayangkan senyum untuknya.

“Maaf sebelumnya, Laras. Aku masih tak ingat emm... denganmu,” ucapku tak enak.

“Apa kau yang mengirim foto itu kemarin? Kalau iya, apa tujuanmu?” lanjutku kemudian. Tak mampu menahan rasa ingin tahuku yang semakin meletup.

Laras tersenyum tipis. Manik matanya menatap lekat ke arahku. “Aku sudah menduga kalau kau akan lupa. Padahal, kau sendiri yang menyuruhku menemuimu”, jawabnya lirih.

Aku terperanjat mendengarnya. Aku yang menyuruhnya datang? Kapan? Bahkan aku pun tak merasa mengenalnya. Tapi bila tak mengenalnya, mengapa aku yakin foto gadis kecil yang menggenggam tanganku adalah Laras?

 “15 tahun yang lalu, sebelum akhirnya kita berpisah, kau sendiri yang menyuruhku menemuimu di taman itu lagi bila aku mengunjungi kota ini. Tempat di mana kita menghabiskan waktu sore kita dengan bermain ayunan, bersepeda atau hanya sekedar berceloteh tentang awan jingga yang bergelayut di sana. Aku sudah datang ke taman itu, namun kau tidak datang. Maka dari itu, aku mengirimkan foto itu dan mengajakmu ke sini,” cerita Laras panjang lebar. Ada kerinduan yang mengental di setiap kalimat yang diucapkannya.

Aku menyimak. Namun, tak sedikitpun kudapat gambaran tentang apa yang diucapkan Laras. Tentang taman. Tentang ayunan. Tentang sepeda bersama. Bahkan tentang celoteh awan jingga.

“Aku tak mengingat sedikit pun tentang itu. Kau bohong padaku?” kataku dengan kening mengernyit.
Lagi-lagi Laras tersenyum simpul. “Aku tak bohong. Kau mau kita pergi ke taman itu lagi?” tawarnya.

Kubiarkan otakku berpikir sejenak untuk menjawab tawaran Laras. “Baiklah, tak ada salahnya ke sana. Toh aku juga sedang santai”, sahutku kemudian.

Mata Laras berbinar. Senyumnya melebar. Setelah menyesap Espresso miliknya yang tinggal separuh itu, tangannya lantas menarik tanganku agar segera pergi dari kafe itu.

“Ayo Di, kita pergi sekarang. Sebelum senja datang!” pekiknya girang.

Aku menurut. Membiarkan tangannya yang kuning langsat itu menarikku hingga keluar dari kafe. Mungkin, ia sudah tak sabar mengulang kembali nostalgia kita di taman itu. Nostalgia kita? Ah, bahkan aku merasa tak pernah menggoreskan cerita bersamanya.
***
    Sebuah taman yang berukuran cukup besar dengan pohon-pohon akasia mengelilinginya, kini nampak jelas di mataku. Ada ayunan berwarna biru laut dan papan jungkat-jungkit di tengahnya. Sedangkan di setiap sudut taman itu nampak bangku-bangku panjang yang mungkin muat diduduki 3-4 orang. Taman yang begitu indah dan asri. Namun, entah mengapa taman ini sepi. Hanya ada aku dan Laras di sini.

    “Kok sepi?” gumamku.

    “Karena taman ini hanya milik kita, Di,” jawab Laras yang membuatku semakin tak mengerti.

    “Ayo!” ajak Laras.

    Laras berlari mendahuluiku yang masih terpaku di depan taman. Ia terbahak. Sesekali ia bermain ayunan lalu berpindah di papan jungkat-jangkit. Tawanya lepas. Begitu ceria. Persis anak kecil.

    “Ayo Di, sini! Sebelum senja, kita harus pulang!” teriaknya padaku.

    Kutengadahkan kepala. Ah iya, langit sore yang keemasan nampak mulai menyemburatkan kemerahan.
    Aku mengangguk. Kulangkahkan kaki lebih mendekat pada Laras yang sedang duduk sendiri di papan jungkat-jangkit itu. Namun, baru 5 langkah, ada seseorang yang begitu kasar menarik lengan kiriku.

    “Aduh!!” pekikku kaget sekaligus kesakitan.

    “Apa yang kau lakukan di sini?!!” sentak seorang laki-laki dengan seragam putih yang menarik lenganku tadi. Di belakangnya juga nampak seorang laki-laki yang memakai seragam yang sama dengannya dan seorang wanita paruh baya.

    Wanita paruh baya itu menangis. Itu ibuku! Ia memelukku erat.

    “Apa yang kau lakukan di sini, Di?” tanya ibu di sela tangisnya.

    “Aku bersama Laras, teman kecilku. Ibu mengingatnya? Aku tadi bertemu dengannya di kafe lalu ia mengajakku ke taman ini.” Kutunjuk Laras yang masih tersenyum di taman itu.

    Ibu menggeleng. “Tak ada Laras! Tak ada kafe! Dan tak ada taman! Ini jalan raya, Di! Kau hampir saja tertabrak!” jawab Ibu yang masih memelukku itu.

Aku tak mengerti apa yang diucapkan ibu. “Ini Laras, Bu,” aku menunjukkan foto yang ada di saku celanaku itu pada Ibu. Berusaha agar ibu yakin bahwa semua yang aku bicarakan tentang Laras adalah benar.

    Tangis Ibu makin meledak. “Itu hanya kertas kosong, Di!! Sadarlah, Di!! Sampai kapan kamu begini terus?”

    Kertas kosong? Ah pasti mata ibu yang salah. Maklumlah ibu memang sudah beranjak tua.

Setelah itu, dua orang berseragam tadi menggiringku ke gedung yang bahkan catnya sudah mulai luntur itu. Gedung yang sama sekali tak menarik dan terkesan membosankan bagiku. Mengapa ibu membiarkan dua orang ini membawaku masuk dalam gedung ini? Bukankah lebih baik ibu membiarkanku bercengkrama dengan Laras saja?

“Masuk.”

Dua lelaki berseragam itu menyuruhku masuk dalam kamar dengan satu ranjang usang dan jendela yang bingkainya mulai berkarat. Kali ini, aku menurut. Begitu aku masuk, mereka segera mengunci pintunya dari luar. Tak ada yang bisa kulakukan di tempat ini, sehingga kubiarkan saja punggungku bersandar di tepi ranjang sejenak.

“Maafkan atas kelalaian kami, Bu. Pasien Schizophrenia memang sering berhalusinasi dan menganggap khalayannya itu nyata. Mereka juga terkadang takkan ragu menuruti semua perintah teman imajinasinya tersebut.”

“Mungkin dia belum bisa melupakan traumanya saat istri dan anaknya meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun lalu. Ia terus menerus menyalahkan dirinya sendiri karena saat itu ia yang menyetir mobil naas itu.” Suara ibu terdengar parau.

Suara lelaki yang aku yakin adalah lelaki berseragam itu terdengar di balik pintu kamarku. Ia sedang berbicara dengan ibu. Aku mendengar semuanya, namun aku sama sekali tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi, toh itu tidak penting.
Kurebahkan tubuhku. Menatap langit-langit kamar yang kusam. “Besok, aku akan menemuimu lagi di taman itu sebelum senja, Laras. Ya, sebelum senja. Karena setelah senja, mungkin kau dan aku sama-sama harus sudah pulang,” ucapku seraya memandang lagi fotoku bersama Laras.
***
Nb : lanjutan dari www.adityadinata.blogspot.com/sebelum-senja

Jumat, 12 Juli 2013

Sebuah Cerpen : CEMARA


CEMARA
Oleh : Muhammad Arif Rizaldy

            Gadis kecil itu meragu. Menatap lurus ke arah ayahnya yang sibuk membolak-balikkan surat kabar yang ada di depannya. Sungguh, bila bukan karena kejadian di sekolah yang sangat mengganggunya tadi, ia takkan secemas ini. Kakinya mengetuk-ngetuk pelan lantai yang kini dijejaknya. Pertanda, bila batinnya kini semakin berkecamuk untuk segera mendapatkan jawaban atas apa yang ingin ditanyakan kepada sang ayah.
            “Ada yang ingin kau bicarakan pada ayah?” Dari sudut matanya, pria berkacamata minus itu dapat menangkap gelagat putri semata wayangnya. Dihentikannya sejenak aktivitasnya tadi sembari menyesap kopi pahitnya pelan.
            Gadis itu mengerjap. Tak menyangka bila ayahnya menangkap basah kegundahannya. Hatinya masih menimbang apakah perlu pertanyaan itu disampaikan pada ayahnya. Akhirnya, langkah kecil menuntunnya semakin mendekat pada sang ayah.
            “Sini. Duduklah di sini, Ra”, ucap ayahnya seraya menggeser sedikit duduknya. Memberikan ruang agar gadis berpipi gembung itu dapat duduk di sampingnya.
            “Ayah, boleh aku bertanya sesuatu?” ucapnya lirih, sesaat setelah ia sudah duduk tepat di samping ayahnya.
            “Tentu saja”.
            Gadis itu terdiam sebentar. Otaknya menyusun kalimat yang pas agar pertanyaannya itu tak membuat sang ayah marah. “Ayah, mengapa namaku Cemara? Aku tidak suka. Semua orang menertawakanku saat mereka tahu kalau namaku Cemara. Kata mereka, cemara adalah pohon yang gambarnya ada di produk pembersih lantai. Mengapa tak menamaiku Putri atau Ayu saja, Yah? Bukankah itu nama yang cantik?” ujarnya panjang lebar. Menumpahkan segala keluhnya yang ia pendam belakangan ini. Masih jelas betul di ingatannya bagaimana teman-teman barunya itu memakai namanya sebagai bahan ledekan.
            Ayah mengernyitkan dahinya. Mencerna setiap kalimat yang meluncur dari mulut kecil buah hatinya. Cemara yang masih duduk di kelas 4 SD itu memang jarang bercerita padanya. Dulu, saat ibunya masih ada, ibunya lah yang menjadi tempatnya berbagi kisah.
            “Dulu kau tak pernah menanyakan hal ini pada ibumu?” Ayah membalikkan pertanyaan padanya. Ara menggeleng.
            “Dulu, tak ada teman yang meledekku seperti itu. Sejak pindah di sini....”, ucap Ara tak menyelesaikan kalimatnya. Ya, ayahnya memang baru pindah dan menetap lagi di kota kelahirannya sejak ibunya meninggal. Dengan menetap di kota kelahiran ayahnya, ayahnya berharap agar Ara tak lagi kesepian karena di sini ada kakek dan neneknya yang menemani.
            Ayah mengusap pelan rambut Ara. Ditatapnya lekat mata bening berair yang ada di depannya. Sepasang mata yang berharap mendapatkan jawaban yang menenangkan dari bibirnya.
            “Kau tak perlu nama Putri dan Ayu. Karena tanpa dijelaskan pun, semua orang pasti tahu bahwa kau adalah Putri ayah yang Ayu”. Ara terdiam. Mungkin masih tak puas dengan jawaban sang ayah.
“Cemara... bukankah nama itu terdengar indah bila diucapkan? Cemara itu kokoh. Teduh. Tuhan juga menitipkan nikmat-Nya udara segar di pagi hari yang salah satunya lewat pohon cemara. Jadi, mengapa kau harus malu, Nak? Bahkan para penyair beramai-ramai menggunakan namamu di puisinya”. Ayah menghentikan ucapannya sejenak. Menatap teduh mata kecil yang sudah tak mampu lagi menahan gempuran air mata di pelupuknya.
            “Cemara menderai sampai jauh. Terasa hari akan jadi malam. Ada beberapa dahan di tingkap merapuh. Dipukul angin yang terpendam.” Ayah mengucapkan sepenggal puisi untuknya.
            Senyum Ara seketika itu merekah. “Derai-derai Cemaranya Chairil Anwar kan, Yah?” pekiknya kegirangan. Sepenggal puisi itu sukses melemparnya pada suatu kenangan bersama ibunya dulu. Kenangan yang terpatri kuat di ceruk hatinya. Bayangan dirinya yang merengek pada sang ibu untuk membacakan puisi itu padanya sebelum tidur seakan terlihat nyata sekarang. Kalau dipikir-pikir lagi, terlihat aneh memang, karena kebanyakan bocah seusianya lebih suka dibacakan dongeng daripada puisi. Tapi tidak untuk Ara, bocah kecil itu sudah sangat menyukai puisi-puisi karya Chairil Anwar dan para penyair Indonesia lainnya. Hal itu juga ditunjang karena ayah dan ibunya mengoleksi lengkap buku-buku karya mereka yang tertata rapi di rak buku, sehingga Ara bisa kapan pun membacanya.
            “Aku sekarang orangnya bisa tahan. Sudah berapa waktu bukan kanak lagi. Tapi dulu memang ada suatu bahan. Yang bukan dasar perhitungan kini”. Ara menyambung puisi yang tadi dibacakan ayahnya.
            “Hidup hanya menunda kekalahan. Tambah terasing dari cinta sekolah rendah. Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan. Sebelum akhirnya kita menyerah”, ucap Ara dan ayahnya, kali ini bersamaan.
            Ada tawa hangat di sana. Ya, di sana. Di antara senyum simetris ayah dan anak. Di antara bait dan baris puisi yang dibaca. Di antara derai-derai cemara yang dahannya merapuh.
            “Jadi, bila ada temanmu yang mengejek namamu, bilang pada mereka bahwa kau adalah cemara untuk ayah. Cemara yang selalu ada untuk meneduhkan hati ayahnya dengan senyumannya”, ucap sang ayah sembari mengusap sisa-sisa air mata yang sempat menguar dan membasahi pipi kemerahan Ara. Ara mengangguk pasti seraya mengembangkan senyumnya. Kegundahannya kini terjawab sudah.
            “Yah, aku juga ingin menulis puisi seperti Chairil Anwar. Puisi yang bisa dikenang sepanjang masa. Apakah aku bisa?” tanya Ara ragu.
            “Tentu saja bisa, Nak. Pasti bisa. Bacakan untuk ayah kalau kau sudah menuliskan puisimu”, jawab sang Ayah meyakinkan.
            Bola mata Ara berbinar. Setangkup harapan kini menyeruak memenuhi semangatnya yang berkobar. Ara beranjak dari tempatnya. Dipeluknya sebentar sang Ayah, lalu kemudian dengan langkah pasti ia menuju kamarnya untuk mulai menulis puisinya.
***
Aku hanya meliuk diterpa angin
ya, hanya meliuk karena aku begitu kokoh
aku hanya meranggas disengat matahari
ya, hanya meranggas karena aku begitu teduh

Siapa aku?
jangan pernah bertanya!
nikmati saja udara segar yang kusajikan di setiap pagi
karunia Tuhan yang selalu dititipkan padaku untukmu

Cemara kini tak lagi menderai
dahannya begitu kuat, tak lagi merapuh
pernahkah aku bercerita tentang ini padamu, Ayah?
ini cerita kita tentang cemara waktu itu

            “Puisi tadi berjudul Cemara untuk Ayah. Terima kasih.” Suara riuh penonton terdengar membahana. Ara sedikit membungkukkan badannya dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Di seberang sana, di antara kerumunan penonton itu, sang Ayah melempar senyum padanya.
            Hari ini adalah hari perlombaan cipta dan baca puisi tingkat SD se-Kabupaten di kotanya. Ara tak peduli menang atau kalah. Ia hanya ingin membacakan puisi buatannya untuk sang ayah seperti janjinya kala itu. Dan, ia telah memenuhi janji itu hari ini.

***SELESAI***

Nb : Cerpen ini masuk 10 besar lomba cerpen pelajar se-Indonesia dengan tema Chairil Anwar yang diadakan Kelompok Sastra Metafor (Mei, 2013).