Senin, 18 November 2013

Gadis Perindu



“Kenapa kau tak datang sore ini?” kau mendesah di balik kaca jendela kamarmu. Air mukamu pias. Pandanganmu sayu menatap langit sore yang begitu riang menyapamu. Kontras dengan matamu yang menyimpan kelabu.
            Bukannya aku tak tahu jika kau sangat merindukanku. Aku tahu itu, bahkan sangat tahu. Bayangkan saja, kau berkali-kali meminta kepada Tuhan agar aku datang padamu. Tapi kau tahu, semua itu butuh proses dan harus melewati perjalanan yang panjang. Aku tak bisa begitu saja muncul di hadapanmu, seperti saat kau menelpon Andri, mantan kekasihmu itu, untuk datang menjemputmu ketika kau selesai mengikuti les piano.
            Dulu, kau begitu acuh padaku. Kau biarkan aku mengintip kemesraanmu dengan Andri dari balik jendela restoran kala itu. Aku cemburu! Dan kini, setelah Andri meninggalkanmu, kau baru sadar dengan kehadiranku yang katamu membawa selaksa kenangan untukmu? Meski begitu, percayalah aku takkan bisa membencimu.
            “Datanglah, kumohon! Jika sore ini tak bisa, aku mohon datanglah malam ini,” pintamu lagi.
Aku tak yakin bisa datang menemuimu. Bersabarlah! Ini masih bulan Maret, kan? Entahlah, mungkin setengah tahun lagi aku baru bisa menyapamu. Itu pun jika Tuhan berkehendak.
            Langit mulai menghitam. Suhu bumi turun dan menyisakan angin dingin. Tak kusangka, Tuhan mengabulkan doamu. Ya, jika Dia sudah berkehendak, semuanya tak ada yang mustahil, termasuk menemuimu di musim seperti ini. Dia lantas memerintahku untuk segera memulai perjalanan untuk menemuimu. Diangkatnya sekumpulan air laut hingga membentuk awan cumulus nimbus. Tak berapa lama, aroma petrichor menguar diiringi dengan gelegar petir untuk memberi tanda padamu bahwa sebentar lagi aku akan hadir.
            “Hujan!!” Kau memekik girang lalu berlari keluar rumah. Kau bentangkan tanganmu lebar-lebar untuk memelukku. “Terimakasih Tuhan kau telah datangkan hujan malam ini, karena hanya lewat hujanlah aku bisa mengenang Andri yang kini sudah ada di pelukanmu,” ucapmu dengan senyum mengembang. Senyum yang sudah entah berapa lama hilang dari wajahmu.
            Ah, akhir perjalananku yang indah. Semoga kau tak bosan untuk kembali menungguku.

FF bertema Perjalanan ini diikutkan di Giveaway Cerita Perjalanan

Kamis, 07 November 2013

Kesebelasan



              Lelaki ceking dengan kulit hitam legam akibat terbakar sinar matahari itu menatap dompet lusuh yang ada di tangannya. Berulang kali ia mengusap peluh yang mulai membanjiri dahinya.
            “Selamat ya, To. Wah, mungkin kamu sudah bosan ya tiap tahun kukasih selamat,” ucap Mardi tergelak.
            Ucapan sahabatnya dari bilik becak itu hanya ditanggapi dingin oleh Yanto. Dia lantas menarik becaknya. Mengayuhnya gontai untuk menemui sang istri yang pasti sudah cemas menunggunya.
                   “Bagaimana, Pak?” tanya sang istri di pembaringannya.
            Yanto tak menjawab. Matanya berlompatan memandang sang istri dan bayi merah di sampingnya. Dia tak tahu lagi bagaimana harus membayar persalinan anak kesebelasnya itu.

Minggu, 03 November 2013

Dari Hobi Baca Buku jadi Hobi Nulis



Sebelum suka nulis, aku lebih dulu suka baca. Masih ingat dulu waktu SMP, setiap Sabtu sepulang sekolah, pasti deh mampir di Perpustakaan Daerah (Perda) yang lokasinya kebetulan dekat sama sekolah.
            Aku biasanya pinjem buku cerita anak sampai novel, kayak Lima Sekawan-nya Enid Blyton, The Lost Boy-nya Dave Pelzer, Chicken Soup for the Soul. Dari dalam negeri novel thrillernya Marga T. sampai novel picisan milik Mira W. nggak ketinggalan jadi daftar listku. Kok bukunya jadul-jadul sih? Iya, soalnya memang stok buku cerita / novel di Perda waktu itu cuma ada yang terbitan lawas. Tapi jangan salah loh, meskipun buku lama, tapi kualitasnya nggak kalah sama buku-buku era sekarang.
            Saking sukanya sama baca buku, aku dulu sampai daftarin semua kakakku buat bikin Kartu Perda biar bisa pinjam banyak buku. Satu kartu hanya boleh pinjam maksimal 2 buku. Nah, karena kakakku ada 4 (aku adalah anak ke-5 dari 5 bersaudara, hehe banyak ya?) jadi aku bisa pinjam sampai 10 buku! Sampai-sampai semua novel yang ada di sana hampir semuanya sudah aku baca. Orang perpusnya sampai kenal aku, hihi...
            Nah, dari kegemaran baca buku itu, aku jadi penasaran ingin nulis cerita juga. Aku pelajari gimana penulis-penulis itu merangkai kalimatnya biar bisa enak dan pas kalau dibaca. Pertama-tama nulis sih bingung banget, soalnya susaaah mau bikin kalimat pembuka seperti apa, padahal isi cerita udah ada di kepala. Udah pernah sampai tengah cerita, eh tiba-tiba bingung nih cerita mau diteruskan kayak apa. Alhasil, banyak tulisan setengah jadi yang nangkring di laptop.
Pertama Kali Ikut Lomba Cerpen
            Aku ingat banget waktu itu sekitar bulan Januari 2013, aku baca pengumuman ada lomba nulis cerpen tingkat pelajar SMA yang diadain salah satu penerbit mayor. Temanya waktu itu tentang persahabatan tapi harus digabungkan dengan sebuah lirik lagu. Ah... nggak ada salahnya dicoba.
            Aku mulai bikin plot ceritanya. Mulai nulis kalimat demi kalimat.  Sempat stuck di tengah cerita. Frustasi juga sih, tapi udah kepalang tanggung.
“Pokoknya aku harus ikutan!!” tekadku waktu itu.
Akhirnya, setelah hampir seminggu (lama banget ya bikin cerpen seminggu? Harap maklum masih newbie), cerpen perdanaku selesai!! Aku beri judul “Segurat Senyum di Langit Sore” dan ngirimnya H-1 sebelum DL. Yess... tinggal tunggu pengumuman nih.
Sebulan kemudian, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Pengumuman pemenang lomba cerpen diumumkan!! Nggak bisa diungkapin lagi deh gimana deg-degannya waktu baca itu, mungkin lebih deg-degan daripada terima raport, xixixi... Aku scroll dari atas ke bawah pelan banget. Tuing!! Mataku hampir saja copot waktu tahu cerpen perdanaku masuk sebagai nominator 40 besar dari sekitar 418 cerpen yang masuk. Senengnya bukan kepalang!! Kayak ada peri-peri cantik yang mengelilingiku saat itu *yang ini agak lebay, abaikan saja*.
Esok harinya, panitia lomba mengumumkan bahwa mereka hanya memilih 20 naskah saja yang masuk dan dibukukan. Dan bisa ditebak, cerpenku tewas. Hati yang berbunga-bunga langsung seperti kering kerontang, luluh lantak. Sempet nggak nafsu makan selama sejam. Ya... sejam aja ya!! Kalau lebih, sayang dong nasi pecelnya dianggurin.. *ini apa sih?*
Belajar dari Kekalahan
            Setelah melewati masa-masa berkabung karena cerpen yang dibuat sepenuh hati itu tak lolos, akhirnya malah membuatku ketagihan menulis. Aku pikir masuk 40 besar itu sudah cukup bagus buat penulis pemula pake banget kayak aku ini. Dan aku yakin, cerpenku ini suatu saat nanti, pasti ketemu jodohnya dan akan diterbitkan, entah kapan dan di mana.
            Sejak itu, aku jadi makin gila cari-cari info lomba cerpen baik di komunitas penulis atau penerbit mayor (harus yang gratisan, kalau nggak gratisan, langsung coret dari daftar, haha.. *liat kantong*). Apalagi lihat kakakku yang lebih dulu punya dua buku antologi hasil dia menang lomba di salah satu penerbit mayor, Penerbit Diva Press.
Selalu Ada Jalan bagi Mereka yang Bersungguh-Sungguh
            Kata-kata itu yang selalu kupegang. Setelah melewati beberapa lomba dan beberapa kekalahan, akhirnya.... aku menang juga!!! Dan bukuku nongol di Toko Buku... *potong tumpeng*
Ini dia daftar lomba yang berhasil aku menangkan ataupun yang masuk nominator dari awal aku nyoba ikutan lomba cerpen sekitar Januari 2013 sampai sekarang (masih harus banyak belajar dari kakak-kakak senior, nih!) :
1.      Masuk 40 besar nominator seleksi Kumcer Junior bertema “Persahabatan” (Gradien Mediatama, Maret 2013)
2.      Masuk 10 besar lomba cerpen pelajar se-Indonesia bertema “Chairil Anwar” (Kelompok Sastra Metafor, April 2013)
3.      Pemenang lomba cerpen komedi bertema “KpopKoplak” (Penerbit Diva Press, Juni 2013). Bukunya sudah terbit Oktober 2013 dan beredar di toko-toko buku dengan judul “Sayangku Jun Ae”.
4.      Pemenang audisi penulis antologi bertema “Bebas Asap Rokok” (Komunitas Bebas Asap Rokok, Juli 2013). Cooming soon at November 2013.
5.      Pemenang lomba cerpen bertema “Ramadhan Damai” (Kampung Fiksi bersama Smartfren, Agustus 2013). Cerpennya sudah dipasang di blog Kampung Fiksi.
6.      Pemenang cerpen bertema “Truth Or Dare” (Penerbit Bentang Pustaka bersama WowKonyol, Agustus 2013). Cooming soon at November 2013.
7.      Pemenang cerpen duet bertema “Cara Indah Tuhan Menghadirkan Cinta” yang aku tulis sama kakakku sendiri (Penerbit Diva Press dan Group Unsa, Oktober 2013). Cooming soon.
Target Selanjutnya
            Nah setelah bikin-bikin cerpen, terbesit buat bikin novel. What?? A novel?? Cerpen yang cuma 15 halaman aja udah megap-megap, gimana mau novel yang lebih dari 150 halaman? Ya, aku tahu bikin novel (menurutku) lebih ribet. Tapi nggak ada salahnya kan nyoba? Lebih baik gagal lalu bangkit lagi daripada nggak mencobanya sama sekali. Doakan ya kakak, biar targetku berhasil. Yeeaayy...!! *heboh sendiri*
            Yaa... itu dia pengalaman pertamaku menulis. Masih harus banyak banyak banyak dan banyak belajar lagi.
Alasan Kenapa Kalian Harus Milih Aku sebagai Pemenangnya
            Seperti yang sudah aku jelasin di next target, aku pingin banget bikin novel. Jadi, aku harus banyak-banyak baca novel yang sedang hits saat ini. Jika bergantung pada stok novel yang ada di Perda, itu nggak mungkin soalnya stoknya masih sama kayak aku SMP dulu (padahal sekarang aku sudah kelas XI SMA).
            Beli di toko buku? Percayalah, jika kalian saat ini pergi ke kota Gresik dan mencari toko buku seperti Toga Mas atau Gramedia takkan pernah kalian temui. Dulu ada Toga Mas, sekarang udah tutup. Hikzz... Di kota ini cuma ada buku semacam buku pelajaran.
            Beli online? Percayalah sekali lagi, rumahku jauh dari bank. That’s it.
            Maka dari itu, aku gencar ikut kuis-kuis yang berhadiah novel. Nggak lain dan nggak bukan, tujuannya biar aku punya bahan bacaan lebih banyak buat calon novelku nanti. Yaa... meskipun sejauh ini lebih sering kalah daripada menang. Haha.. *ketawa miris*
            Nah, semoga kak Bella dan kak Mput, berkenan ya memilihku sebagai pemenangnya. *tebar jampi keberuntungan*. Sukses terus buat kalian berduaaa....

Sabtu, 02 November 2013

Cerpen : Mukenah Mak

  Haii... baru sempet mindahin cerpenku yg dulu menang lomba cerpen bertema Ramadhan Damai yang diadain Kampung Fiksi sama Smartfren...
Met baca ya... ^^
M U K E N A H    M A K....
oleh: Muhammad Arif Rizaldy
“San, ayo bangun. Sudah subuh.”

Mak mengguncang-guncang tubuh Ikhsan. Bocah yang masih berselimut sarung itu lantas menggeliat. Diusap matanya berkali-kali untuk lebih menyadarkannya dari alam mimpi. Kini wajah Mak yang sudah basah oleh air wudhu itu, nampak lebih jelas.

“Ayo, cepat wudhu! Nanti ketinggalan jama’ah,” ucap Mak seraya memakai mukenahnya yang ada di belakang pintu kamar.

Mukenah milik Mak polos tanpa motif, renda, ataupun bordir. Sederhana sekali. Bahkan warnanya sudah nampak kekuningan karena seringnya Mak pakai. Bayangkan saja, sehari dipakai sholat fardhu 5 kali, belum untuk sholat sunnah dan tadarusnya. Mukenah itu dicuci 3 hari sekali. Dicuci setelah sholat subuh agar saat sholat dhuhur sudah kering dan bisa dipakai lagi. Begitu seterusnya.

“Ikhsaaann....”

Panggilan Mak dari luar kamar sontak membuyarkan lamunan Ikhsan untuk segera beranjak dari tempatnya. Bergegas mengambil wudhu dan mengikuti Mak ke masjid.

***

“Mak, mau punya mukenah baru nggak?” tanya Ikhsan saat melihat Mak mencuci mukenahnya, rutinitas tiga hariannya itu.

Mak menarik ujung bibirnya. Menatap lekat wajah polos Ikhsan yang duduk di depannya.

“Memangnya kenapa, San? Ikhsan mau beliin Mak mukenah?” tanya Mak lembut.

Bocah kelas 6 SD itu mengangguk.

“Aku mau Mak jadi lebih kaya dengan mukenah baru nanti,” sahut Ikhsan semangat.

Mak terkekeh. Beberapa hari lalu Ikhsan memang bertanya pada Mak, mengapa Mak sangat sayang sama mukenah satu-satunya itu. Bila ada lubang sedikit, pasti Mak langsung menambalnya. Begitu juga bila ada noda sedikit, pasti Mak langsung membersihkannya. Rupanya jawaban Mak itu sepertinya masih membekas di ingatan Ikhsan. Ketika itu, Mak menjawab bahwa melalui mukenah itulah Mak merasa kaya. Bukan kaya secara materi pastinya, karena apalah arti kekayaan bagi buruh cuci seperti Mak. Melainkan kaya secara batiniyah. Semakin sering Mak memakai mukenahnya, Mak merasa batinnya lebih damai dan dekat sama Tuhan. Biarlah Mak tak punya apa-apa di dunia ini, tapi Mak tidak mau nanti di akhirat juga tidak punya apa-apa. Mak mau jadi orang yang kaya di mata Tuhan.

“Terserah Ikhsan saja,” jawab Mak singkat.

Ia tak yakin putra semata wayangnya itu mampu membeli mukenah baru. Jangankan membeli mukenah, membeli lauk untuk besok saja terkadang harus berhutang dulu ke warung Bu Siti. Setelah menerima pembayaran cucian, barulah Mak melunasi hutang-hutangnya.

***

Tanpa sepengetahuan Mak, Ikhsan mulai mencari uang untuk mendapatkan mukenah incarannya yang sudah ia lihat di pasar. Mukenah putih dengan bordir bunga di tepinya. Kainnya halus dan mudah menyerap keringat. Mak pasti akan lebih betah memakainya. Untuk harganya Ikhsan sedikit menelan ludah saat melihatnya yaitu Rp. 150.000. Angka yang mungkin kecil bagi sebagian orang. Tapi bagi Ikhsan, dengan harga mukenah sebesar itu baru bisa terbeli bila ia rela tak jajan sama sekali selama 5 bulan.

“Mau ke mana, San?” tanya Mak saat Ikhsan buru-buru pergi setelah pulang sekolah.

“Main, Mak….” Ikhsan berbohong.

Terpaksa ia bohong, karena bila jujur mengatakan kalau akan mencari sampah untuk dijual ke pengepul, Mak pasti marah. Mak belum mengijinkannya bekerja seperti anak-anak lain di kampungnya. Kata Mak, ia masih tanggung jawab Mak, jadi biarlah Mak yang mencari uang.

Ikhsan mencari sampah botol dan plastik di perkampungan yang agak jauh dari rumahnya. Sepulang sekolah hingga menjelang maghrib, Ikhsan menyisir satu persatu bak sampah dan memilah barang-barang apa saja yang sekiranya bisa dijual ke pengepul. Bila sedang beruntung, ia bisa mendapat 2 kresek penuh. Namun bila tidak, 1 kresek terkadang tidak sampai penuh. Sesekali Ikhsan berhenti untuk sekedar beristirahat ataupun sholat Ashar di masjid terdekat. Dalam setiap do’anya, terselip doa semoga Tuhan berkenan mengabulkan keinginannya untuk membelikan mukenah untuk Mak.

Sudah hampir seminggu Ikhsan menjadi pemulung cilik dadakan. Setiap hari sekitar 2-3 ribu rupiah bisa ia kantongi dari memulung. Tabungannya kini masih 20.000 rupiah, masih kurang banyak untuk membeli mukenah Mak. Ia harus kembali memutar otak untuk mencari pekerjaan tambahan agar uangnya lebih cepat terkumpul.

***

Peluh Ikhsan nampak membasahi pakaiannya. Bocah ceking itu berkali-kali mengusap dahinya dengan punggung tangannya. Sekarung beras seberat 25 kg baru saja ada di pundaknya. Ya, Ikhsan kini menjadi kuli panggul di pasar ketika hari Minggu. Ia berbaur bersama orang-orang bertubuh kekar yang mampu mengangkat 3 karung beras itu sekaligus. Upah di sini lumayan. Setiap karung yang berhasil diangkut dihargai 1.000 rupiah. Jarak antara truk pengangkut beras dan tokonya pun tak seberapa jauh. Ada sekitar 150 karung beras yang harus dipanggul. Truk pengangkut beras ini tak setiap hari ada, biasanya seminggu atau dua minggu sekali. Maka dari itu, Ikhsan tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tak dipedulikannya lagi, keringnya kerongkongan dan ramainya perut minta diisi. Ia hanya fokus untuk memanggul beras itu sebanyak-banyaknya.

***

“Seratus empat puluh, seratus lima puluh, seratus enam puluh, seratus tujuh puluh lima ribu enam ratus rupiah! Yeeayy!!” pekik Ikhsan girang ketika menghitung uang yang dikumpulkannya selama hampir 2 bulan itu.

Bayangan mukenah baru untuk Mak begitu jelas menari-nari di angannya. Tak sabar rasanya melihat Mak memakai mukenah itu besok. Tepat 1 Ramadhan. Bulan istimewa harus disambut pula dengan pakaian yang terbaik.

Malam hari itu juga, Ikhsan bergegas menuju pasar dan menjemput mukenah incarannya. Tak lupa, seluruh uang tabungannya ia selipkan rapi di dompet milik ayahnya sebelum beliau meninggal.

Mukenah dengan bordir bunga itu masih nampak menghiasi manekin di depan toko. Wajah manekin itu seolah berubah menjadi wajah Mak saat Ikhsan menatapnya. Diusapnya lembut mukenah baru itu. Mata Ikhsan mengembun tatkala membayangkan senyum Mak di sana
.
“Bang... mukenahnya ini berapa?” Ikhsan menunjuk mukenah incarannya.

“170 ribu,” jawabnya singkat.

“Kok naik, Bang? Bukannya kemarin 150 ribu?”

“Kemarin kapan? Semuanya pada naik kalau mau puasa.”

Ikhsan mengangguk. Tak masalah baginya, selama uangnya masih cukup. Ia juga mengerti karena memang semua harga barang-barang kebutuhan akan naik ketika menjelang hari besar. Setelah melakukan transaksi jual beli, kini kresek berwarna gold dengan isi mukenah cantik itu siap ia bawa pulang.

Begitu riang ia melangkah. Wajahnya berseri. Diayunkannya kresek itu hingga seperti pantulan pada jarum jam. Saking larutnya ia dalam kebahagiaan, ia tak menyadari sedari tadi ada motor yang mengendap di belakangnya. Sedetik kemudian, tangannya tersentak oleh tarikan kasar seseorang yang ada di belakangnya.

“Brrrrmmmmm.......!!” motor itu kemudian melaju kencang.

Ikhsan terhuyung. Jantungnya berdegup kencang dan matanya memanas ketika menyadari motor itu pergi membawa kresek yang ditentengnya tadi. Kresek gold berisi mukenah cantik tersebut lenyap. Seketika itu ia lunglai dengan wajah pias dan tatapan kosong.

“Ya Robb....,” desisnya.

Ikhsan melangkah gontai. Air mata tak lagi terbendung ketika bayangan Mak dan mukenah baru itu kembali muncul bergantian di kepalanya.

“Mengapa harus aku? Mengapa harus mukenah Mak yang diambil? Bukankah itu juga agar Mak bisa lebih dekat dengan-Mu? Tapi mengapa Kau biarkan pencuri itu mengambilnya?” Berbagai pertanyaan kepada Tuhan hilir mudik berkecamuk di hatinya.

Tangis Ikhsan meledak ketika melihat Mak yang sedang menyapu teras. Bocah itu lantas sesenggukan di pundak Mak. Sedangkan Mak yang tak tahu apa-apa, kebingungan dan cemas melihat keadaan Ikhsan.

“Kenapa, San?”

“Mu-mukena Mak d-dicuri,” jawab Ikhsan terbata. Bibirnya bergetar.

“Mukenah Mak ada kok di dalam.”

Ikhsan menggeleng. 

“Mukenah b-baru buat Mak...,” 

Kemudian Ikhsan menceritakan semua detail kejadiannya. Dari proses ia mengumpulkan uang hingga pencuri itu merenggut semua jerih payahnya.

Mak kini mengerti. Wanita yang sudah mulai beruban itu lantas tersenyum pada Ikhsan. 

“Ikhsan tahu nggak, terkadang sesuatu yang kita anggap baik belum tentu baik di mata Tuhan. Ikhsan pasti berharap kalau nanti Mak pakai mukenah baru, Mak akan lebih taat ibadahnya, ya kan?” 

Ikhsan mengangguk lemah. Ya, itu memang tujuannya memberikan mukenah baru untuk Mak.

“San, Tuhan pasti punya alasan mengapa saat ini Mak belum diijinkan punya mukenah baru. Siapa tahu bila Mak punya mukenah baru, Mak malah jadi sombong, pamer ke tetangga-tetangga. Jadi riya’ kalau ibadah karena ingin dipuji mukenahnya. Oleh karena itu, Ikhsan harus ikhlas ya mukenah itu diambil. Jangan pernah menyalahkan Tuhan atas keputusan yang telah Dia buat untuk kita,” tutur Emak lembut.

“Tapi... Mak jadi pakai mukenah lama itu lagi buat tarawih nanti,” ujar Ikhsan lirih.

“Tak masalah bagi Mak. Asalkan Mak punya anak yang sholeh seperti Ikhsan,” ucap Mak sembari mengecup kening buah hatinya itu.

Terawih pertama di bulan Ramadhan ini memang Mak lalui tanpa mukenah baru seperti harapan Ikhsan. Tapi dari kejadian itulah, kedua insan itu belajar bahwa nikmat dan damainya Ramadhan tak bisa diraih hanya dengan memakai mukenah baru. Menjaga hati untuk selalu bersyukur, ikhlas dan berprasangka baik kepada Tuhan jauh lebih penting untuk menyambut Ramadhan hingga hari kemenangan nanti.


***
Pengarang cerpen terpilih #CeritaRamadan Minggu ke-3 ini berhak mendapatkan satu buah USB modem Wifi DF78AH dari Smartfren. Selamat.