Kamis, 18 Juli 2013

Sebelum Senja

“Silakan kopinya."
"Makasih mbak."
Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesananku. Hangat.

Bagiku, kopi ialah pemanis di kala senja. Aku tidak paham dengan anggapan orang-orang yang membenci kopi hanya karena ia pahit. Pahitnya kopi mampu menyadarkanku bahwa hidup tidak selamanya manis. Kopi sanggup membuatku nyaman meski kepala sedang suntuk-suntuknya. Dan kopi ialah teman yang baik bagi mereka yang sedang sendiri. Seperti orang yang sedang menunggu. Seperti aku.

Kulirik jam tanganku.
Satu jam. Sudah satu jam aku berada di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantai parquet. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Lagu-lagu akustik John Mayer yang terus diputar membuatku percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menikmati suasana. Kecuali aku.

"Semoga aku nggak salah tempat," batinku.
Kuingat-ingat lagi surat itu. Ya, surat aneh yang kudapat sehari yang lalu. Tidak ada nama pengirim, hanya berisi tulisan pendek mengenai permintaan untuk bertemu disertai alamat, tanggal, dan waktunya. Di baliknya terdapat sebuah foto seorang anak lelaki menggenggam tangan seorang anak perempuan. Semakin kuperhatikan, semakin aku yakin jika anak lelaki di foto itu aku. Berbagai macam pertanyaan seperti siapa pengirimnya, ada keperluan apa ia ingin menemuiku, dan kenapa ia bisa memiliki fotoku waktu kecil mengubur segala rasa takutku.

Dan di sinilah aku. Menunggu.
Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
***
Suara bel menandakan pintu cafe itu terbuka. Seorang perempuan dengan kemeja flanel berjalan masuk. Ia terlihat seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang.

“Hei....”
Perempuan itu menyapaku. Sejenak, aku terpaku. Mataku menelusuri setiap jengkal tubuhnya. Mencoba mengingat akan sosok yang kini berdiri di hadapanku ini. Namun nihil. Perempuan anggun dengan rambut sebahu itu tak mampu mengingatkanku pada siapapun.

“Masih ingat aku, Di?” tanyanya dengan senyum yang terkembang. Menunjukkan dua lesung pipi yang menghiasi wajahnya.

Ah, iya! Aku mengingatnya. Lesung di pipinya itu sama persis dengan milik perempuan kecil yang menggandeng tanganku di foto. Tapi siapa ia? Bila aku lupa, itu sudah wajar. Karena foto itu mungkin diambil saat aku belum genap berumur 8 tahun.

“Aku Laras,” ucapnya lagi. Mungkin ia mulai jengah denganku yang masih bergeming.
Kupersilahkan ia duduk. Laras kini berhadapan denganku. Ia memesan secangkir Espresso Con Panna dengan sedikit krim. Ah, seleranya unik. Tak terasa, aku melayangkan senyum untuknya.

“Maaf sebelumnya, Laras. Aku masih tak ingat emm... denganmu,” ucapku tak enak.

“Apa kau yang mengirim foto itu kemarin? Kalau iya, apa tujuanmu?” lanjutku kemudian. Tak mampu menahan rasa ingin tahuku yang semakin meletup.

Laras tersenyum tipis. Manik matanya menatap lekat ke arahku. “Aku sudah menduga kalau kau akan lupa. Padahal, kau sendiri yang menyuruhku menemuimu”, jawabnya lirih.

Aku terperanjat mendengarnya. Aku yang menyuruhnya datang? Kapan? Bahkan aku pun tak merasa mengenalnya. Tapi bila tak mengenalnya, mengapa aku yakin foto gadis kecil yang menggenggam tanganku adalah Laras?

 “15 tahun yang lalu, sebelum akhirnya kita berpisah, kau sendiri yang menyuruhku menemuimu di taman itu lagi bila aku mengunjungi kota ini. Tempat di mana kita menghabiskan waktu sore kita dengan bermain ayunan, bersepeda atau hanya sekedar berceloteh tentang awan jingga yang bergelayut di sana. Aku sudah datang ke taman itu, namun kau tidak datang. Maka dari itu, aku mengirimkan foto itu dan mengajakmu ke sini,” cerita Laras panjang lebar. Ada kerinduan yang mengental di setiap kalimat yang diucapkannya.

Aku menyimak. Namun, tak sedikitpun kudapat gambaran tentang apa yang diucapkan Laras. Tentang taman. Tentang ayunan. Tentang sepeda bersama. Bahkan tentang celoteh awan jingga.

“Aku tak mengingat sedikit pun tentang itu. Kau bohong padaku?” kataku dengan kening mengernyit.
Lagi-lagi Laras tersenyum simpul. “Aku tak bohong. Kau mau kita pergi ke taman itu lagi?” tawarnya.

Kubiarkan otakku berpikir sejenak untuk menjawab tawaran Laras. “Baiklah, tak ada salahnya ke sana. Toh aku juga sedang santai”, sahutku kemudian.

Mata Laras berbinar. Senyumnya melebar. Setelah menyesap Espresso miliknya yang tinggal separuh itu, tangannya lantas menarik tanganku agar segera pergi dari kafe itu.

“Ayo Di, kita pergi sekarang. Sebelum senja datang!” pekiknya girang.

Aku menurut. Membiarkan tangannya yang kuning langsat itu menarikku hingga keluar dari kafe. Mungkin, ia sudah tak sabar mengulang kembali nostalgia kita di taman itu. Nostalgia kita? Ah, bahkan aku merasa tak pernah menggoreskan cerita bersamanya.
***
    Sebuah taman yang berukuran cukup besar dengan pohon-pohon akasia mengelilinginya, kini nampak jelas di mataku. Ada ayunan berwarna biru laut dan papan jungkat-jungkit di tengahnya. Sedangkan di setiap sudut taman itu nampak bangku-bangku panjang yang mungkin muat diduduki 3-4 orang. Taman yang begitu indah dan asri. Namun, entah mengapa taman ini sepi. Hanya ada aku dan Laras di sini.

    “Kok sepi?” gumamku.

    “Karena taman ini hanya milik kita, Di,” jawab Laras yang membuatku semakin tak mengerti.

    “Ayo!” ajak Laras.

    Laras berlari mendahuluiku yang masih terpaku di depan taman. Ia terbahak. Sesekali ia bermain ayunan lalu berpindah di papan jungkat-jangkit. Tawanya lepas. Begitu ceria. Persis anak kecil.

    “Ayo Di, sini! Sebelum senja, kita harus pulang!” teriaknya padaku.

    Kutengadahkan kepala. Ah iya, langit sore yang keemasan nampak mulai menyemburatkan kemerahan.
    Aku mengangguk. Kulangkahkan kaki lebih mendekat pada Laras yang sedang duduk sendiri di papan jungkat-jangkit itu. Namun, baru 5 langkah, ada seseorang yang begitu kasar menarik lengan kiriku.

    “Aduh!!” pekikku kaget sekaligus kesakitan.

    “Apa yang kau lakukan di sini?!!” sentak seorang laki-laki dengan seragam putih yang menarik lenganku tadi. Di belakangnya juga nampak seorang laki-laki yang memakai seragam yang sama dengannya dan seorang wanita paruh baya.

    Wanita paruh baya itu menangis. Itu ibuku! Ia memelukku erat.

    “Apa yang kau lakukan di sini, Di?” tanya ibu di sela tangisnya.

    “Aku bersama Laras, teman kecilku. Ibu mengingatnya? Aku tadi bertemu dengannya di kafe lalu ia mengajakku ke taman ini.” Kutunjuk Laras yang masih tersenyum di taman itu.

    Ibu menggeleng. “Tak ada Laras! Tak ada kafe! Dan tak ada taman! Ini jalan raya, Di! Kau hampir saja tertabrak!” jawab Ibu yang masih memelukku itu.

Aku tak mengerti apa yang diucapkan ibu. “Ini Laras, Bu,” aku menunjukkan foto yang ada di saku celanaku itu pada Ibu. Berusaha agar ibu yakin bahwa semua yang aku bicarakan tentang Laras adalah benar.

    Tangis Ibu makin meledak. “Itu hanya kertas kosong, Di!! Sadarlah, Di!! Sampai kapan kamu begini terus?”

    Kertas kosong? Ah pasti mata ibu yang salah. Maklumlah ibu memang sudah beranjak tua.

Setelah itu, dua orang berseragam tadi menggiringku ke gedung yang bahkan catnya sudah mulai luntur itu. Gedung yang sama sekali tak menarik dan terkesan membosankan bagiku. Mengapa ibu membiarkan dua orang ini membawaku masuk dalam gedung ini? Bukankah lebih baik ibu membiarkanku bercengkrama dengan Laras saja?

“Masuk.”

Dua lelaki berseragam itu menyuruhku masuk dalam kamar dengan satu ranjang usang dan jendela yang bingkainya mulai berkarat. Kali ini, aku menurut. Begitu aku masuk, mereka segera mengunci pintunya dari luar. Tak ada yang bisa kulakukan di tempat ini, sehingga kubiarkan saja punggungku bersandar di tepi ranjang sejenak.

“Maafkan atas kelalaian kami, Bu. Pasien Schizophrenia memang sering berhalusinasi dan menganggap khalayannya itu nyata. Mereka juga terkadang takkan ragu menuruti semua perintah teman imajinasinya tersebut.”

“Mungkin dia belum bisa melupakan traumanya saat istri dan anaknya meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun lalu. Ia terus menerus menyalahkan dirinya sendiri karena saat itu ia yang menyetir mobil naas itu.” Suara ibu terdengar parau.

Suara lelaki yang aku yakin adalah lelaki berseragam itu terdengar di balik pintu kamarku. Ia sedang berbicara dengan ibu. Aku mendengar semuanya, namun aku sama sekali tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi, toh itu tidak penting.
Kurebahkan tubuhku. Menatap langit-langit kamar yang kusam. “Besok, aku akan menemuimu lagi di taman itu sebelum senja, Laras. Ya, sebelum senja. Karena setelah senja, mungkin kau dan aku sama-sama harus sudah pulang,” ucapku seraya memandang lagi fotoku bersama Laras.
***
Nb : lanjutan dari www.adityadinata.blogspot.com/sebelum-senja

1 komentar:

  1. Hahahaha! Kereeeeeeeeeeen! Kalau dikembangkan lebih rumit lagi pasti nendang abis, nih, yakin! ='))

    BalasHapus