Jumat, 12 Juli 2013

Sebuah Cerpen : CEMARA


CEMARA
Oleh : Muhammad Arif Rizaldy

            Gadis kecil itu meragu. Menatap lurus ke arah ayahnya yang sibuk membolak-balikkan surat kabar yang ada di depannya. Sungguh, bila bukan karena kejadian di sekolah yang sangat mengganggunya tadi, ia takkan secemas ini. Kakinya mengetuk-ngetuk pelan lantai yang kini dijejaknya. Pertanda, bila batinnya kini semakin berkecamuk untuk segera mendapatkan jawaban atas apa yang ingin ditanyakan kepada sang ayah.
            “Ada yang ingin kau bicarakan pada ayah?” Dari sudut matanya, pria berkacamata minus itu dapat menangkap gelagat putri semata wayangnya. Dihentikannya sejenak aktivitasnya tadi sembari menyesap kopi pahitnya pelan.
            Gadis itu mengerjap. Tak menyangka bila ayahnya menangkap basah kegundahannya. Hatinya masih menimbang apakah perlu pertanyaan itu disampaikan pada ayahnya. Akhirnya, langkah kecil menuntunnya semakin mendekat pada sang ayah.
            “Sini. Duduklah di sini, Ra”, ucap ayahnya seraya menggeser sedikit duduknya. Memberikan ruang agar gadis berpipi gembung itu dapat duduk di sampingnya.
            “Ayah, boleh aku bertanya sesuatu?” ucapnya lirih, sesaat setelah ia sudah duduk tepat di samping ayahnya.
            “Tentu saja”.
            Gadis itu terdiam sebentar. Otaknya menyusun kalimat yang pas agar pertanyaannya itu tak membuat sang ayah marah. “Ayah, mengapa namaku Cemara? Aku tidak suka. Semua orang menertawakanku saat mereka tahu kalau namaku Cemara. Kata mereka, cemara adalah pohon yang gambarnya ada di produk pembersih lantai. Mengapa tak menamaiku Putri atau Ayu saja, Yah? Bukankah itu nama yang cantik?” ujarnya panjang lebar. Menumpahkan segala keluhnya yang ia pendam belakangan ini. Masih jelas betul di ingatannya bagaimana teman-teman barunya itu memakai namanya sebagai bahan ledekan.
            Ayah mengernyitkan dahinya. Mencerna setiap kalimat yang meluncur dari mulut kecil buah hatinya. Cemara yang masih duduk di kelas 4 SD itu memang jarang bercerita padanya. Dulu, saat ibunya masih ada, ibunya lah yang menjadi tempatnya berbagi kisah.
            “Dulu kau tak pernah menanyakan hal ini pada ibumu?” Ayah membalikkan pertanyaan padanya. Ara menggeleng.
            “Dulu, tak ada teman yang meledekku seperti itu. Sejak pindah di sini....”, ucap Ara tak menyelesaikan kalimatnya. Ya, ayahnya memang baru pindah dan menetap lagi di kota kelahirannya sejak ibunya meninggal. Dengan menetap di kota kelahiran ayahnya, ayahnya berharap agar Ara tak lagi kesepian karena di sini ada kakek dan neneknya yang menemani.
            Ayah mengusap pelan rambut Ara. Ditatapnya lekat mata bening berair yang ada di depannya. Sepasang mata yang berharap mendapatkan jawaban yang menenangkan dari bibirnya.
            “Kau tak perlu nama Putri dan Ayu. Karena tanpa dijelaskan pun, semua orang pasti tahu bahwa kau adalah Putri ayah yang Ayu”. Ara terdiam. Mungkin masih tak puas dengan jawaban sang ayah.
“Cemara... bukankah nama itu terdengar indah bila diucapkan? Cemara itu kokoh. Teduh. Tuhan juga menitipkan nikmat-Nya udara segar di pagi hari yang salah satunya lewat pohon cemara. Jadi, mengapa kau harus malu, Nak? Bahkan para penyair beramai-ramai menggunakan namamu di puisinya”. Ayah menghentikan ucapannya sejenak. Menatap teduh mata kecil yang sudah tak mampu lagi menahan gempuran air mata di pelupuknya.
            “Cemara menderai sampai jauh. Terasa hari akan jadi malam. Ada beberapa dahan di tingkap merapuh. Dipukul angin yang terpendam.” Ayah mengucapkan sepenggal puisi untuknya.
            Senyum Ara seketika itu merekah. “Derai-derai Cemaranya Chairil Anwar kan, Yah?” pekiknya kegirangan. Sepenggal puisi itu sukses melemparnya pada suatu kenangan bersama ibunya dulu. Kenangan yang terpatri kuat di ceruk hatinya. Bayangan dirinya yang merengek pada sang ibu untuk membacakan puisi itu padanya sebelum tidur seakan terlihat nyata sekarang. Kalau dipikir-pikir lagi, terlihat aneh memang, karena kebanyakan bocah seusianya lebih suka dibacakan dongeng daripada puisi. Tapi tidak untuk Ara, bocah kecil itu sudah sangat menyukai puisi-puisi karya Chairil Anwar dan para penyair Indonesia lainnya. Hal itu juga ditunjang karena ayah dan ibunya mengoleksi lengkap buku-buku karya mereka yang tertata rapi di rak buku, sehingga Ara bisa kapan pun membacanya.
            “Aku sekarang orangnya bisa tahan. Sudah berapa waktu bukan kanak lagi. Tapi dulu memang ada suatu bahan. Yang bukan dasar perhitungan kini”. Ara menyambung puisi yang tadi dibacakan ayahnya.
            “Hidup hanya menunda kekalahan. Tambah terasing dari cinta sekolah rendah. Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan. Sebelum akhirnya kita menyerah”, ucap Ara dan ayahnya, kali ini bersamaan.
            Ada tawa hangat di sana. Ya, di sana. Di antara senyum simetris ayah dan anak. Di antara bait dan baris puisi yang dibaca. Di antara derai-derai cemara yang dahannya merapuh.
            “Jadi, bila ada temanmu yang mengejek namamu, bilang pada mereka bahwa kau adalah cemara untuk ayah. Cemara yang selalu ada untuk meneduhkan hati ayahnya dengan senyumannya”, ucap sang ayah sembari mengusap sisa-sisa air mata yang sempat menguar dan membasahi pipi kemerahan Ara. Ara mengangguk pasti seraya mengembangkan senyumnya. Kegundahannya kini terjawab sudah.
            “Yah, aku juga ingin menulis puisi seperti Chairil Anwar. Puisi yang bisa dikenang sepanjang masa. Apakah aku bisa?” tanya Ara ragu.
            “Tentu saja bisa, Nak. Pasti bisa. Bacakan untuk ayah kalau kau sudah menuliskan puisimu”, jawab sang Ayah meyakinkan.
            Bola mata Ara berbinar. Setangkup harapan kini menyeruak memenuhi semangatnya yang berkobar. Ara beranjak dari tempatnya. Dipeluknya sebentar sang Ayah, lalu kemudian dengan langkah pasti ia menuju kamarnya untuk mulai menulis puisinya.
***
Aku hanya meliuk diterpa angin
ya, hanya meliuk karena aku begitu kokoh
aku hanya meranggas disengat matahari
ya, hanya meranggas karena aku begitu teduh

Siapa aku?
jangan pernah bertanya!
nikmati saja udara segar yang kusajikan di setiap pagi
karunia Tuhan yang selalu dititipkan padaku untukmu

Cemara kini tak lagi menderai
dahannya begitu kuat, tak lagi merapuh
pernahkah aku bercerita tentang ini padamu, Ayah?
ini cerita kita tentang cemara waktu itu

            “Puisi tadi berjudul Cemara untuk Ayah. Terima kasih.” Suara riuh penonton terdengar membahana. Ara sedikit membungkukkan badannya dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Di seberang sana, di antara kerumunan penonton itu, sang Ayah melempar senyum padanya.
            Hari ini adalah hari perlombaan cipta dan baca puisi tingkat SD se-Kabupaten di kotanya. Ara tak peduli menang atau kalah. Ia hanya ingin membacakan puisi buatannya untuk sang ayah seperti janjinya kala itu. Dan, ia telah memenuhi janji itu hari ini.

***SELESAI***

Nb : Cerpen ini masuk 10 besar lomba cerpen pelajar se-Indonesia dengan tema Chairil Anwar yang diadakan Kelompok Sastra Metafor (Mei, 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar