CEMARA
Oleh : Muhammad Arif Rizaldy
Gadis kecil itu meragu. Menatap
lurus ke arah ayahnya yang sibuk membolak-balikkan surat kabar yang ada di
depannya. Sungguh, bila bukan karena kejadian di sekolah yang sangat
mengganggunya tadi, ia takkan secemas ini. Kakinya mengetuk-ngetuk pelan lantai
yang kini dijejaknya. Pertanda, bila batinnya kini semakin berkecamuk untuk segera
mendapatkan jawaban atas apa yang ingin ditanyakan kepada sang ayah.
“Ada yang ingin kau bicarakan pada
ayah?” Dari sudut matanya, pria berkacamata minus itu dapat menangkap gelagat
putri semata wayangnya. Dihentikannya sejenak aktivitasnya tadi sembari
menyesap kopi pahitnya pelan.
Gadis itu mengerjap. Tak menyangka
bila ayahnya menangkap basah kegundahannya. Hatinya masih menimbang apakah
perlu pertanyaan itu disampaikan pada ayahnya. Akhirnya, langkah kecil
menuntunnya semakin mendekat pada sang ayah.
“Sini. Duduklah di sini, Ra”, ucap
ayahnya seraya menggeser sedikit duduknya. Memberikan ruang agar gadis berpipi
gembung itu dapat duduk di sampingnya.
“Ayah, boleh aku bertanya sesuatu?”
ucapnya lirih, sesaat setelah ia sudah duduk tepat di samping ayahnya.
“Tentu saja”.
Gadis itu terdiam sebentar. Otaknya
menyusun kalimat yang pas agar pertanyaannya itu tak membuat sang ayah marah. “Ayah,
mengapa namaku Cemara? Aku tidak suka. Semua orang menertawakanku saat mereka
tahu kalau namaku Cemara. Kata mereka, cemara adalah pohon yang gambarnya ada
di produk pembersih lantai. Mengapa tak menamaiku Putri atau Ayu saja, Yah?
Bukankah itu nama yang cantik?” ujarnya panjang lebar. Menumpahkan segala
keluhnya yang ia pendam belakangan ini. Masih jelas betul di ingatannya
bagaimana teman-teman barunya itu memakai namanya sebagai bahan ledekan.
Ayah mengernyitkan dahinya. Mencerna
setiap kalimat yang meluncur dari mulut kecil buah hatinya. Cemara yang masih
duduk di kelas 4 SD itu memang jarang bercerita padanya. Dulu, saat ibunya
masih ada, ibunya lah yang menjadi tempatnya berbagi kisah.
“Dulu kau tak pernah menanyakan hal
ini pada ibumu?” Ayah membalikkan pertanyaan padanya. Ara menggeleng.
“Dulu, tak ada teman yang meledekku
seperti itu. Sejak pindah di sini....”, ucap Ara tak menyelesaikan kalimatnya.
Ya, ayahnya memang baru pindah dan menetap lagi di kota kelahirannya sejak
ibunya meninggal. Dengan menetap di kota kelahiran ayahnya, ayahnya berharap
agar Ara tak lagi kesepian karena di sini ada kakek dan neneknya yang menemani.
Ayah mengusap pelan rambut Ara.
Ditatapnya lekat mata bening berair yang ada di depannya. Sepasang mata yang
berharap mendapatkan jawaban yang menenangkan dari bibirnya.
“Kau tak perlu nama Putri dan Ayu.
Karena tanpa dijelaskan pun, semua orang pasti tahu bahwa kau adalah Putri ayah
yang Ayu”. Ara terdiam. Mungkin masih tak puas dengan jawaban sang ayah.
“Cemara...
bukankah nama itu terdengar indah bila diucapkan? Cemara itu kokoh. Teduh. Tuhan
juga menitipkan nikmat-Nya udara segar di pagi hari yang salah satunya lewat
pohon cemara. Jadi, mengapa kau harus malu, Nak? Bahkan para penyair
beramai-ramai menggunakan namamu di puisinya”. Ayah menghentikan ucapannya
sejenak. Menatap teduh mata kecil yang sudah tak mampu lagi menahan gempuran
air mata di pelupuknya.
“Cemara menderai sampai jauh. Terasa
hari akan jadi malam. Ada beberapa dahan di tingkap merapuh. Dipukul angin yang
terpendam.” Ayah mengucapkan sepenggal puisi untuknya.
Senyum Ara seketika itu merekah. “Derai-derai
Cemaranya Chairil Anwar kan, Yah?” pekiknya kegirangan. Sepenggal puisi itu
sukses melemparnya pada suatu kenangan bersama ibunya dulu. Kenangan yang
terpatri kuat di ceruk hatinya. Bayangan dirinya yang merengek pada sang ibu
untuk membacakan puisi itu padanya sebelum tidur seakan terlihat nyata
sekarang. Kalau dipikir-pikir lagi, terlihat aneh memang, karena kebanyakan
bocah seusianya lebih suka dibacakan dongeng daripada puisi. Tapi tidak untuk
Ara, bocah kecil itu sudah sangat menyukai puisi-puisi karya Chairil Anwar dan
para penyair Indonesia lainnya. Hal itu juga ditunjang karena ayah dan ibunya mengoleksi
lengkap buku-buku karya mereka yang tertata rapi di rak buku, sehingga Ara bisa
kapan pun membacanya.
“Aku sekarang orangnya bisa tahan.
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi. Tapi dulu memang ada suatu bahan. Yang
bukan dasar perhitungan kini”. Ara menyambung puisi yang tadi dibacakan
ayahnya.
“Hidup hanya menunda kekalahan.
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah. Dan tahu, ada yang tetap tidak
terucapkan. Sebelum akhirnya kita menyerah”, ucap Ara dan ayahnya, kali ini
bersamaan.
Ada tawa hangat di sana. Ya, di
sana. Di antara senyum simetris ayah dan anak. Di antara bait dan baris puisi
yang dibaca. Di antara derai-derai cemara yang dahannya merapuh.
“Jadi, bila ada temanmu yang
mengejek namamu, bilang pada mereka bahwa kau adalah cemara untuk ayah. Cemara
yang selalu ada untuk meneduhkan hati ayahnya dengan senyumannya”, ucap sang
ayah sembari mengusap sisa-sisa air mata yang sempat menguar dan membasahi pipi
kemerahan Ara. Ara mengangguk pasti seraya mengembangkan senyumnya.
Kegundahannya kini terjawab sudah.
“Yah, aku juga ingin menulis puisi
seperti Chairil Anwar. Puisi yang bisa dikenang sepanjang masa. Apakah aku bisa?”
tanya Ara ragu.
“Tentu saja bisa, Nak. Pasti bisa.
Bacakan untuk ayah kalau kau sudah menuliskan puisimu”, jawab sang Ayah meyakinkan.
Bola mata Ara berbinar. Setangkup
harapan kini menyeruak memenuhi semangatnya yang berkobar. Ara beranjak dari
tempatnya. Dipeluknya sebentar sang Ayah, lalu kemudian dengan langkah pasti ia
menuju kamarnya untuk mulai menulis puisinya.
***
Aku hanya meliuk
diterpa angin
ya, hanya meliuk karena
aku begitu kokoh
aku hanya meranggas
disengat matahari
ya, hanya meranggas
karena aku begitu teduh
Siapa aku?
jangan pernah bertanya!
nikmati saja udara
segar yang kusajikan di setiap pagi
karunia Tuhan yang
selalu dititipkan padaku untukmu
Cemara kini tak lagi
menderai
dahannya begitu kuat,
tak lagi merapuh
pernahkah aku bercerita
tentang ini padamu, Ayah?
ini cerita kita tentang
cemara waktu itu
“Puisi tadi berjudul
Cemara untuk Ayah. Terima kasih.” Suara riuh penonton terdengar membahana. Ara
sedikit membungkukkan badannya dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Di
seberang sana, di antara kerumunan penonton itu, sang Ayah melempar senyum
padanya.
Hari ini adalah hari perlombaan
cipta dan baca puisi tingkat SD se-Kabupaten di kotanya. Ara tak peduli menang
atau kalah. Ia hanya ingin membacakan puisi buatannya untuk sang ayah seperti
janjinya kala itu. Dan, ia telah memenuhi janji itu hari ini.
***SELESAI***
Nb : Cerpen ini masuk 10 besar lomba cerpen pelajar se-Indonesia dengan tema Chairil Anwar yang diadakan Kelompok Sastra Metafor (Mei, 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar