Minggu, 17 Agustus 2014

Time is Money



Otaknya mendidih. Tulang-tulang penyusun tubuhnya seakan tak punya daya untuk kembali menopang tubuhnya. Tapi ia tak peduli. Bercangkir-cangkir kafein direguknya demi menuntaskan bertumpuk file yang masih menggunung di atas meja kerjanya.

Hampir seharian ia habiskan di kubikel ini. Berkutat dengan laporan yang membuat matanya memerah perih. Namun lagi-lagi ia tetap tak peduli, bahkan ketika dering telepon dari sang istri untuk kesekian kalinya menjerit minta diangkat. Kerja, kerja dan kerja. Tiga kata itu kini mendominasi pikirannya. Beban hidup yang semakin keras membuatnya harus ekstra membanting tulang untuk bidadari dan dua malaikat kecilnya. Time is money, itulah jargon yang melekat di otaknya. Waktu yang terbuang tanpa menghasilkan uang adalah haram baginya.

“Lembur lagi, Al?” teman sekantornya menepuk bahunya pelan.

Ia mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya pada layar laptop.

“Aku pulang dulu, ada meeting,” pamitnya.

 Aldy mengernyit. “Meeting sama boss?”

Sang rekan menggeleng. “Meeting sama yang lebih penting dari boss,” ujarnya terkekeh. “Sama anak dan istri. Kalau nggak ada mereka, aku cuma manusia tanpa semangat. Kita memang kerja demi mereka, tapi ah... apalah artinya uang melimpah jika kelak anak tak mengenali ayahnya sendiri saking sibuknya kita di kantor. Benar, kan?” lanjutnya.

Aldy membisu. Membiarkan kalimat itu menampar-nampar batinnya.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar