Otaknya mendidih.
Tulang-tulang penyusun tubuhnya seakan tak punya daya untuk kembali menopang
tubuhnya. Tapi ia tak peduli. Bercangkir-cangkir kafein direguknya demi
menuntaskan bertumpuk file yang masih menggunung di atas meja kerjanya.
Hampir seharian ia
habiskan di kubikel ini. Berkutat dengan laporan yang membuat matanya memerah
perih. Namun lagi-lagi ia tetap tak peduli, bahkan ketika dering telepon dari
sang istri untuk kesekian kalinya menjerit minta diangkat. Kerja, kerja dan
kerja. Tiga kata itu kini mendominasi pikirannya. Beban hidup yang semakin
keras membuatnya harus ekstra membanting tulang untuk bidadari dan dua malaikat
kecilnya. Time is money, itulah jargon yang melekat di otaknya. Waktu yang
terbuang tanpa menghasilkan uang adalah haram baginya.
“Lembur lagi, Al?”
teman sekantornya menepuk bahunya pelan.
Ia mengangguk,
tanpa mengalihkan pandangannya pada layar laptop.
“Aku pulang dulu,
ada meeting,” pamitnya.
Aldy mengernyit. “Meeting sama boss?”
Sang rekan
menggeleng. “Meeting sama yang lebih penting dari boss,” ujarnya terkekeh.
“Sama anak dan istri. Kalau nggak ada mereka, aku cuma manusia tanpa semangat.
Kita memang kerja demi mereka, tapi ah... apalah artinya uang melimpah jika
kelak anak tak mengenali ayahnya sendiri saking sibuknya kita di kantor. Benar,
kan?” lanjutnya.
Aldy membisu.
Membiarkan kalimat itu menampar-nampar batinnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar