Gerimis di luar kaca begitu menghisapku ke dalam kenangan-kenangan
itu. Kusandarkan tubuh pada kursi bus Jaya Utama yang akan membawaku padanya.
Padanya yang telah mengguratkan senja di hidupku.
Enam tahun yang lalu. Bahkan aku masih mengingat bagaimana tawanya
saat langit mulai berubah jingga. Memekik girang saat mentari mulai kembali ke
peraduannya. Dulu aku tak tahu apa yang membuatnya begitu mencintai senja yang
bagiku hanya sebagai angin lalu sebelum bumi digantikan malam.
Ranti namanya, gadis penyuka senja itu. Aku mengenalnya saat baru
mengenakan seragam putih abu-abu. Gadis sederhana, ceria dan memiliki manik
mata yang selalu berbinar.
***
“Pakai punyaku saja.”
Ranti menyodorkan payungnya padaku. Aku hanya meliriknya sekilas.
Hujan kali ini memang begitu menyebalkan. Membuatku tak dapat bergerak ke
manapun. Mungkin ia bisa melihat kekesalan di wajahku hingga ia rela
meminjamkan payung biru miliknya.
“Dan kamu?” tanyaku setelah menyelidik dan yakin bahwa ia hanya
membawa satu payung.
Ranti tersenyum tipis, namun tak dapat menutupi lesung pipi yang
menghiasi wajahnya.
“Rumahku dekat. Aku hanya perlu sedikit berlari ke sana,” jawabnya sembari
menepuk-nepuk rok seragamnya yang mulai basah terkena hempasan hujan yang
menerobos di tempat kami berteduh.
“Namamu Ranti, kan?” tanyaku setelah menatap detail wajahnya.
“Kita satu kelas, kan? Dan kamu baru tahu namaku?” Gadis itu terkekeh. Menatapku
dengan senyumnya yang melebar.
“Maaf, aku memang terkadang
lupa dengan nama-nama teman di kelas kita,” jawabku singkat dan
kembali terpekur menatap hujan.
Aku memang orang yang sangat susah menghafalkan
nama, lagipula ini baru sebulan kami masuk di kelas ini. Biasanya, aku hanya
mengingat wajahnya tanpa mengingat namanya. Hanya orang-orang tertentu saja
yang akan melekat kuat di ingatanku.
“Kuharap namaku tak pernah kamu lupa,” timpalnya
renyah. Suaranya berlomba dengan suara hujan yang semakin deras.
***
“Ya, namamu memang tak pernah beranjak dari
ingatanku, Ranti,” desahku. Kalimat itu yang seharusnya kuucapkan padanya empat
tahun yang lalu sebelum aku membuat keputusan bodoh itu.
Kurapatkan jaket. Mencoba menghalau dingin yang berusaha menyelinap
di setiap lekuk tubuhku. Bus Jaya Utama masih melaju kencang melewati berbagai
pemandangan yang tak pernah luput dari mataku. Membawaku lebih dekat dengannya. Ranti, aku pulang.
Pulang ke kotamu. Ah, tidak. Kota kita lebih tepatnya.
***
“Hei... kok belum pulang?”
tegur Ranti saat menemukanku masih berdiri di depan gerbang sekolah.
“Menunggu jemputan. Motorku tiba-tiba mogok. Kamu sendiri mau ke
mana?” tanyaku penasaran setelah melihatnya dengan sepeda keranjangnya.
“Alun-alun. Mau melihat senja di sana. Kamu mau ikut?”
Lama aku terdiam. Mencerna jawaban yang meluncur dari mulut Ranti.
Melihat senja? Apa yang akan ia dapatkan dari melihat senja? Berjuta pertanyaan
begitu menggelayut di pikiranku. Belum sempat pertanyaan itu terjawab, Ranti
telah lebih dulu mendorongku untuk menaiki sepedanya.
“Kamu yang memboncengku,” ucapnya diselingi tawanya yang khas.
Alun-alun kota dengan air mancur di tengahnya tak begitu ramai hari
ini. Aku meletakkan sepeda Ranti tepat di sisi bangku taman. Setelah turun dari
sepeda, Ranti duduk di bangku taman itu dan hanya terpekur menatap lembayung.
Tak ada percakapan di antara kami untuk beberapa menit.
“Kamu suka ke sini?” tanyaku memecah kebisuan di antara kami.
“Hampir setiap hari”.
“Buat apa?”
“Aku ke sini untuk melihat senja,” jawabnya sambil memandang jauh menembus langit
yang sedang menyemburatkan kemerahan.
“Mengapa?”
Ranti terdiam sejenak. Sorot matanya mendadak sayu. “Waktu itu tepat sehari sebelum perayaan tahun
baru. Ah, bahkan aku masih mengingat bagaimana raut kekecewaannya.” Mata beningnya terlihat berair. “Ayah sudah menungguku di sini sedari senja untuk mengajakku ke Pantai
Delegan untuk merayakan tahun baru di sana. Tapi kamu tahu? Aku menolaknya
karena aku ingin merayakan tahun baru itu bersama teman-temanku.”
“Jika aku tahu kalau itu adalah permintaan
terakhirnya, mungkin aku takkan pergi sejengkalpun darinya. Memenuhi semua keinginannya.
Ayah pergi meninggalkan senja terakhirnya di sini,” bibir Ranti bergetar. Kelu.
Ucapannya tercekat.
Aku menatapnya dalam. Jawabannya begitu menyentak perasaanku. Jadi
karena itukah dia begitu mencintai senja? Senja yang hanya sesaat datang di antara
sore dan malam. Senja yang mungkin terlupakan oleh banyak orang karena terlalu
sibuknya mereka dengan urusan duniawi.
Sejak saat itu, aku selalu menemani Ranti menatap
senja di sini. Berbagi cerita bersama, bersepeda atau sekedar melepas penat. Ya,
aku mulai mencintai senja seperti aku mulai mencintainya.
***
Tak terasa kakiku telah menginjak lantai dingin terminal Osowilangun. Kuedarkan pandanganku ke seluruh sudut terminal. Terminal di perbatasan Gresik-Surabaya ini masih sama seperti saat
kutinggalkan dulu. Masih penuh dengan wajah orang-orang yang memendam kerinduan
pada jiwa-jiwa yang jauh di sana. Tak terkecuali aku.
Aku melangkah keluar dari terminal. Kubenarkan
lagi ransel yang menggantung di pundakku. Tak terlalu berat isinya. Hanya
beberapa bungkus hadiah yang ingin kuberikan padanya.
Kutengadahkan kepala. Hujan yang mengguyur selama
perjalanan tadi ternyata mampu mengaburkan semburat jingga yang biasanya menggantung di langit kota ini. Aku menghembuskan napas perlahan. Aroma rindu semakin menguar dan menyelimuti hati ini.
***
“Aku ingin kita bersahabat saja,” ucapku tepat di saat hari keberangkatan menuju Malang guna melanjutkan
pendidikan. Tak seperti dugaanku,
Ranti tak kaget mendengar pernyataanku. Mungkin ia sudah melihat
gelagatku
sejak sebulan lalu yang seolah menghindarinya.
“Winda?”
Aku kembali
terperanjat. Selama ini, aku tak menyadari ternyata Ranti tahu hubunganku dengan Winda. Ada senyum getir
tersungging di bibir Ranti. Ia menggenggam erat
tanganku. Kutahu hatinya hancur.
“Aku hanya ingin kamu bahagia, Ris. Bila kamu bahagia bersama Winda, aku rela melepasmu.” Tak ada air mata yang tumpah membasahi pipinya. Air mata itu seolah
telah mengering. Mungkin sudah banyak air mata yang ia tumpahkan ketika mendengar
semua kebohonganku dan mengendus hubunganku dengan Winda, gadis yang baru kukenal tiga bulan silam
saat acara festival band berlangsung.
Ranti meninggalkanku dalam kebisuan. Pergi bersama
dengan senja yang bergelayut di matanya. Ah, mengapa hatiku teramat sakit saat
menatapnya? Bukankah ini yang kuinginkan untuk memutuskan kehidupan baru
bersama Winda?
***
Kertas itu masih kugenggam erat. Kertas yang Ranti
berikan sesaat setelah kami memutuskan untuk tak lagi berjalan beriringan.
Keputusan bodoh yang kusesali hingga kini.
Bagiku, kebahagiaan itu sederhana
Sesederhana saat kamu dan aku menantikan langit berganti senja
Di mana dunia kita begitu
lepas
Terima
kasih telah menemaniku menatap senja selama ini
Saat
menatap senja bersamamu, aku selalu berharap kalau ini bukanlah senja terakhir
yang bisa kita nikmati bersama
Namun,
apalah aku? Aku hanyalah manusia tanpa daya.
Aku pun
tak bisa mencegah kala hatimu tak lagi untukku
Semoga
kamu mendapatkan senja yang lebih indah di sana. Bersamanya.
Kugenggam lebih erat kertas yang sudah teramat
kusut itu. Mataku mengembun tatkala menyadari betapa bodohnya diri ini dulu
yang tak mampu melihat cinta yang begitu dalam di mata Ranti untukku.
Aku meneruskan langkah. Merekam jejak cerita yang
kuharap akan berakhir indah di kota ini. Tak terasa inilah akhir perjalananku
tatkala kakiku tepat berdiri di sini.
“Ranti, aku sudah datang,” ucapku lirih, persis di
depan janur kuning yang menghiasi tenda pernikahannya.
***